PERPISAHAN (5)



                Kuberitahukan sebuah rahasia yang umum padamu. Sungguh, perempuan adalah spesies mamalia paling munafik di muka bumi. Mereka menutupi wajahnya dengan topeng yang sempurna. Jati diri mereka tersembunyi di balik senyum palsu, sedih palsu, marah palsu, iba palsu, dan hal-hal serba palsu lain.  Maka tak usah heran bila jumlah laki-laki yang tertipu oleh perempuan lebih banyak dari jumlah perempuan yang tertipu oleh laki-laki.

                Aku melihat perempuanku mengenakan topeng penyesalan. Ia mendatangiku dan memohon padaku agar kami menghentikan segala hal yang menjerumuskan kami lebih dalam. Tapi kemudian ia melepas topengnya dan menunjukkan wajah yang bercucuran air mata. Ia tak mau kehilangan aku. Ia tak mau begitu saja melepasku; mengikhlaskan seluruh kenangan dan mimpi yang telah kami buat. Aku menurutinya sebab tak tahan dengan segala kesedihannya. Ia ingin mengakhirinya namun tetap ingin menikmatinya.

                Kami masih tetap menjalin sebuah hubungan dengan menjaga batasan-batasan tertentu. Dahulu aku boleh melakukan apapun; kini aku hanya boleh memeluknya. Kami menjalani hubungan kami sebagaimana biasa. Kami menghadiri kuliah, mengerjakan tugas bersama, mengunjungi tempat-tempat kuliner, mengunjungi kost teman-temanmu, berpergian bersama teman-temanku, nonton, duduk-duduk menikmati senja, dan hal-hal seru kami lainnya seperti bermain timezone. Aku tak pernah lupa, bermain di timezone adalah satu-satunya hiburanmu yang paling menyenangkan. Dan melihatmu senang adalah merupakan kebahagiaanku.

                Sehebat apapun menjaga dan menahan, cinta adalah sebuah pemberontakan yang selalu menuntut kebebasan. Aku tak bisa menahan rasa cinta yang begitu meluap-luap bila selalu bersamamu, kuakui itu. Dan akhirnya lagi-lagi kami kembali membebaskan cinta pergi ke manapun yang ia suka. Cinta itu menjelma kuda liar yang tak bisa kami tahan, apalagi kami jaga. Ia hanya pergi melesat, dalam dan jauh begitu saja. Derapnya yang menghentak-hentak adalah detak jantung kami; ringkiknya yang nyaring adalah napas kami yang saling sahut-menyahut. Kami tak kuasa menahan. Kami larut pada cinta dan ia menguasai kami mutlak.

                Setelah itu, ia lagi-lagi mengenakan topengnya. Kali ini topeng penyesalan yang mendalam. Sambil mengenakan topengnya ia memberitahuku bahwa ia merasa jadi mahkluk Tuhan yang menjijikkan. Ia menyesal. Ia menderita. Aku seperti ikut merasakan tiap jengkal derita yang dialaminya, karena sebab salah satu penderitaanya juga pastilah aku. Kemudian ia melepas topengnya dan munculah wajahnya yang bercucuran air mata. Aku merasakan de javu, kejadian ini persis seperti sebelumnya. Dan benar saja, ia menangis terisak-isak tak mau kehilangan aku, sama seperti sebelumnya.

                Kutawarkan padanya untuk pergi apabila ia merasa dihantui perasaan bersalah yang bertubi-tubi dan menderita karenanya. Meski sejujurnya, aku sendiri tak sedikitpun merelakan, namun seorang lelaki selalu harus mengambil langkah yang pasti. “Pergilah,” kataku, “bila kita masih bersama maka kita hanya akan terus larut pada manisnya cinta yang menjerumuskan.” Namun ia menolak, menggelengkan kepalanya keras. Kubesarkan hatinya, “Bila takdir memperkenankan kita bertemu kembali, maka kita akan bertemu, masih dengan perasaan yang sama besarnya.” Kau menggeleng lagi.

                “Ka, kau pe-pe-pernah berkata bahwa campur t,tangan Tuhan d-du,dua puluh lima persen, sedangkan usaha kita ad-adalah tujuh puluh lima persen. A,a,aku takut jika kita tak be,be,bbenar-benar berusaha m,m,mmaka mustahil kita bisa b-b-bertahan.” Sesenggukan, ia berusaha mengatakan hal yang membuatku ikut terisak. Aku tahu itu. Aku mengingat dengan pasti semua kata-kata yang telah kuucapkan padanya. Bahwa apabila kami berpisah, peluang yang kami miliki untuk kembali hampir tak ada. Bahwa peluang terbesar yang kami miliki adalah hanya saling memendam luka yang akan butuh waktu lama untuk mengobatinya. Aku ikut terisak-isak, sungguh. Membayangkan pergi dan tak dipersatukan kembali, semua itu sungguh menyakitkan.

                Apakah kami harus kembali menjadi keledai lagi, yang berkali-kali jatuh di lubang yang sama? Kami rasa ya, jika perlu menjadi keledai untuk melewati jalan yang berlubang dengan elegan dan tidak terjatuh lagi, kenapa tidak? Kenapa tidak?

Jika begitu, kini tanggalkanlah topengmu, sayang, atau buanglah topeng itu selamanya. Milikilah keberanian untuk menampakkan satu wajahmu saja, bukan dua, tiga, atau lima. Satu saja. Menghindarlah dari kemunafikan mesti kutahu kau diciptakan seperti itu. Milikah kekonsistensian. Milikilah keteguhan diri. Dan kuharap kita bisa menjadi keledai dungu yang elegan.

                  

Comments

Popular Posts