PERPISAHAN (4)



            Awal kebahagiaan yang mengejutkan atau barangkali awal malapetaka pada kisah cinta kami adalah hari ketika bibir kami yang saling menemukan. Ini terjadi secara tiba-tiba dan begitu saja. Kami saling merasai bibir kami sendiri, mengecap sebuah kenikmatan yang melebihi apapun. Aku meremas lembut kepalanya sedang ia memegang pahaku kencang. Dunia terasa berputar-putar indah dengan nafas kami yang saling sahut-menyahut dan mengudara pada kedua pipi kami. Kami berdua seperti melambung jauh ke istana awan.

            Ini semua terjadi begitu saja dan tiba-tiba. Bibir kami seperti saling menemukan jalannya sendiri. Setelah itu ia terdiam. Aku panik akan reaksinya saat itu, kukira ia bakal marah dan menamparku, tapi ia malah akhirnya malah mengelap bibirnya, “Ih, basah tau.” Aku tertawa dan membantu mengelap bibirnya sambil kurapikan kembali beberapa helai rambutnya yang terurai di sela-sela kerudungnya.

            Semenjak hari itu, kami seperti menemukan sebuah petualangan baru yang menantang. Kami seperti sama-sama dicekam oleh rasa ingin tahu yang lebih. Kami ingin bertualang lebih jauh, menjelajahi sebuah dunia baru yang selalu membuat jantung kami berdebar-debar kencang. Maka kami selalu menjelajahi dunia baru itu nyaris setiap kali kami bertemu. Di kostanmu, kostanku, rumahku, rumahmu, dapurku, dapurmu, dalam tenda, luar tenda, dalam mobil, luar mobil dan kesemuanya selalu berakhir pada tubuh kami yang selalu berpelukan dengan keringat yang saling mengucur deras. Semenjak hari itu pula kami selalu pergi ke manapun bersama. Kami telah menjadi sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Tak heran, teman-teman kami pasti iri melihat kebersamaan kami.

            Seluruh awal kebahagiaan ini menjadi awal malapetaka pula ketika kami saling tersadar bahwa apa yang kami lakukan ini tidaklah benar. Titik kesadaran ini kami temukan ketika seorang wali Tuhan –aku selalu menyebut ini pada seseorang yang bisa menghidupkan kembali iman seseorang yang tengah rapuh- yang berwujud perempuan paruh baya. “Islam tidak mengenal pacaran.” Kata-kata sederhana itu mampu menyeret kami pada sebuah perenungan yang dalam. Kata-kata ini mengais-ais nurani kami yang murni. Memberitahu bahwa apa yang kami lakukan bukanlah salah, hanya pada caranya yang kurang tepat. Telah disediakan sebuah koridor untuk memuliakan kami, memuliakan hubungan kami. Kami ingin dimuliakan dan menjadi lebih baik.

            Kami terhentak sadar. Kami bergegas pergi melaluinya, namun koridor yang telah disediakan itu masih terlampau jauh untuk kami tempuh. Kami masih sama-sama belum siap untuk menempuh koridor tersebut. Untuk melalui koridor itu kami harus terlebih dahulu menerjang karang, mendaki bebatuan, serta menyebrangi samudra yang amat luas.  Kami sangat ingin melaluinya namun merasa belum siap. Sungguh ironis.

            Hal ini pernah membawa kami pada sebuah kata yang begitu menakutkan: perpisahan. Setelah semua yang kami perjuangkan dan impi-impikan, kami tak ingin begitu saja menyerah pada perpisahan. Selalu tersedia seribu cara bagi orang yang mau. Pada akhirnya kami mencoba mencari jalan keluar. Kami masih ingin saling memiliki namun tetap pada jalan dan rambu-rambu yang telah ditentukan. 
 
             Kami dilema; seperti berada pada sebuah perahu kecil yang akan karam. Jika salah satu dari kami tak pergi, tak satupun dari kami selamat. Jika kami tetap bersikeras menetap, kami berdua akan mati tenggelam karena beban kapal yang sudah tak mampu menahan dua orang. Kami akhirnya memilih untuk tetap bersama dalam perahu kecil itu.

            Kami telah memutuskan untuk tetap menggenggam erat tangan kami di perahu. Berharap kapal ini bisa bertahan sampai seseorang tiba menyelamatkan, atau sampai perahu ini cukup kuat untuk membiarkan arus menuntunnya pada sebuah pulau yang indah. Kita harus selalu berharap dan membuat harapan, sebab dari situlah semangat hidup muncul. Dengan harapan, kau bagai hidup seribu tahun. Dengan harapan, kau mempecundangi kemustahilan. Dengan harapan, kami percaya bahwa perahu yang kami tumpangi bersama-sama bisa sampai pada pulau indah yang kami tuju.

            Namun pilihan kami salah. Perahu kami karam dan kami tenggelam.

Comments

Popular Posts