PERPISAHAN (3)



            Mengapa kau memilih jalan yang tak kita sukai?

            Padahal, jalan menuju bahagia memiliki seribu pintu yang kesemuanya terbuka lebar.

            Mengapa, sayang?

            Kita kembali bertemu di alun-alun pusat kota. Sebuah tempat yang selalu ramai. Orang tertawa, orang berlari, orang bermimpi, orang beristirahat, orang berbahagia, orang bercinta, bahkan orang menangis. Kita duduk pada sebuah kursi setinggi dengkul dengan atap berkeramik, memandang lurus pada lapangan basket; tatapan kita kosong. Sudah hampir lima menit kira-kira kita berada di sini.
 
            Dua minggu yang lalu –terakhir kali kita berkunjung kemari-, rutinitas lima menit pertama kita adalah menertawai kepayahanmu soal olahraga. Kepayahanmu dalam olahraga selalu menjadi topik obrolan kita yang seru. Aku selalu gemas pada tingkahmu yang selalu mengeluh apabila kusuruh berlari. “Minimal seminggu sekali jantungmu harus terpompa kencang tiga kali. Ayo lari, ah.” Kau memasang muka melasmu, “Satu putaran saja, ya.” Saat itu aku ingin sekali mencubit pipimu sekencang-kencangnya.

            Kita masih terduduk. Aku menatapmu sekilas, kau masih tetap memandang lurus ke depan, ke arah lapangan basket. Seorang lelaki tinggi yang hitam bermain solo di sana. Ia memantulkan bola, melemparnya ke ring, menggiringnya, melemparkannya lagi ke ring, terus begitu berulang-ulang. Kutatap lagi dirimu. Entah apa kau juga sedang mengingat saat-saat terakhir kali kita pergi ke sini. Aku tak nyaman dengan suasana diam seperti ini. Saat aku mulai ingin bicara, kau akhirnya mengawali, “Aku ingin kita berubah, ra.”

            Jantungku berdegup bukan main. Hatiku tak karuan. Aku telah menebak arah pembicaraanmu. Kita telah melaui hal ini berulang kali dan kau telah membicarakannya juga berkali-kali. Tapi kita selalu melupakannya dengan cepat, entah dengan sengaja atau tidak, tapi mungkin lebih banyak dengan tidak disengaja. Siapapun pasti setuju, cinta bisa dengan mudahnya melenakan. Meski sudah bisa ditebak, aku selalu mencoba mendengarkanmu.

            “Aku rasa kita sudah terlalu jauh, ra.” Kita mengucapkannya pada saat yang bersamaan dengan berbeda. Kau mengucapkannya di bibir sedang aku mengucapkannya di hati. Kau tahu, aku bahkan nyaris hapal kalimat-kalimat yang akan kau keluarkan dari sekarang. Setelah ini, kau akan berucap, “Kita sedang menjalani hubungan yang tidak sehat,” lalu, “Ini tidak baik untuk masa depan kita, cita-cita kita,” lalu, “Aku tidak mau kita terjerumus terlalu lama,” dan akhirnya, “Mari berubah.” Meski berbeda-beda redaksinya, inti dari semua hal yang ingin kau ucapkan adalah ini, benar kan?

            Dan kau juga mesti sudah hapal, alasan dan solusiku terhadap keresahanmu. Mengapa aku seperti ini? Kau telah mengetahuinya. Solusiku terhadap keresahanmu, meski berbeda pada tiap cara penyampainnya, kurang lebih intinya pun sama. Seluruhnya sama dank au telah mengetahuinya. Lalu apalagi sebenarnya yang kau inginkan? Mengapa tak kau pilih saja jalan menuju bahagia, sayang? Mengapa?

Kau terus berbicara dan aku masih setia mendengarkan. Kata-katamu mengembara di kedua telingaku, namun pikiranku mengembara jauh pada kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang sering kita lakukan. Sekali lagi, hatiku menjerit: Mengapa, sayang?

                          

                                                                                                              BERSAMBUNG.....




           
  

Comments

Popular Posts