PERPISAHAN (2)



            Kutemukan pertama kali safir yang berwarna hitam di matamu. Kilaunya menyejukkan mata, meneduhkan siapapun yang memandangnya. Matamu yang safir itu kemudian dipadukan dengan alismu yang tajam menggoda, sebuah keindahan yang sempurna. Dan bibirmu yang mungil menantang dan sedikit titik hitam yang samar di atasnya merupakan bukti bahwa Tuhan adalah seniman terbaik di seluruh semesta. Maka aku tak pernah heran, bila kau selalu mengisahkan banyak lelaki yang menaruh hati padamu semasa kau sekolah di SMP hingga SMA.

            Sungguh, bila memandang wajahmu yang aduhai itu, aku seperti meyakini bahwa perempuan yang digambarkan Iwan Fals pada lagunya adalah juga dirimu, namun pastinya kau yang lebih cantik. Bohong, apabila ada seorang lelaki yang mengatakan kau kurang cantik –sebutan halus kita pada seseorang yang jelek. Bohong, bila seseorang mengatakan kau tak ramah. Merupakan sebuah kebohongan pula, bila siapapun mengatakan kau tak baik –meski tidak baik-baik amat. Lelaki manapun pasti setuju, bahwa banyak lelaki yang akan jatuh cinta padamu lewat pandangan pertama. 

            Dahulu aku meragukan sebuah fakta yang menyatakan seorang lelaki bisa jatuh cinta pada wanita hanya dalam hitungan detik. Aku membuang semua keraguanku ketika pertama kali melihatmu. Aku jatuh cinta padamu, dalam hitungan detik, kuakui itu. Kau memeluk tas laptopmu dan berjalan melewatiku menuju kelasmu. Saat itu, aku yang tengah berpikir keras menyelesaikan cerpenku terhenti sejenak memandangimu. Hingga kau masuk pada kelasmu, aku masih memandangi tempat di mana kau menghilang melewati pintu kelas dan baru tersadar ketika dikejutkan oleh teman sekelasku, Sholeh. “Oi! Biasa aja kali liatnya, haha.” Sialan si Shaleh ini, kataku dalam hati. Alih-alih menggerutu pada Shaleh, aku malah menanyakan namanya, “Kau tahu nama perempuan itu, leh?” Shaleh tersenyum, “Namanya Sarinah.”
 
            Kita adalah mahasiswa yang sama pada jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Kelas kita bersebelahan sebenarnya apabila tidak ada satu kelas dari jurusan lain yang memisahkan. Aku terkadang sering jengkel pada bagian akademik yang mengatur lokasi kelas, mengapa semua kelas satu jurusan tidak bersebelahan saja, untuk memudahkan komunikasi dan informasi terkait mata kuliah dan hal-hal lain. Ditambah kehadiranmu, aku jadi benar-benar jengkel pada bagian akademik. Sesekali, aku duduk-duduk di depan kelasmu bersama anak-anak lelaki dari kelasmu, sok-sok nimbrung, padahal aku hanya ingin melihatmu, atau lebih tepatnya menarik perhatianmu.

            Aku adalah tipe pria yang tidak terlalu banyak bicara alias bicara seperlunya saja atau to the point man. Tak heran banyak orang terlebih lagi perempuan yang mengatakan aku ini sombong. Kenyataannya, prasangka itu akan luntur apabila mereka telah mengenalku dan aku telah mengenal mereka. Ketika kita sudah saling mengenal, kau dan teman-temanmu memanggilku Aden, sebutan pembantu untuk memanggil majikan dalam bahasa Jawa. Aku sering bertanya-tanya, apa maksud aden ini. Kuketahui pada akhirnya bahwa kau dan teman-temanmu ternyata pernah menduga bahwa aku adalah lelaki yang sombong, sok keren, dan sok kalem, yang laganya seperti seorang anak dari majikan yang kaya raya. Aku tertawa ketika akhirnya mengetahui hal ini.

            Pada akhirnya kita telah cukup dekat. Entah siapa dulu yang pertama kali mulai mendekat, aku atau dirimu. Nantinya, hal ini akan selalu menjadi perbincangan seru untuk didebatkan. Kita saling merayu dan menggombal lalu disoraki anak-anak kelas kita. Aku sedikit menikmati sorak-ricuh anak-anak apabila kita saling menggombal. Sungguh, awalnya kita hanya saling bercanda, atau hanya aku yang bercanda sementara kau serius, atau mungkin kau yang bercanda dan aku yang terlalu menghanyutkannya pada perasaan. Dan tiba-tiba kita adalah sepasang kekasih. Lucu bukan?

            Aku masih sedikit mengingat bagaimana kita bercanda, merayu, dan menggombal. Kau mengirim pesan via ponsel yang mengatakan bahwa kau cemburu melihatku bercanda dengan teman perempuan sekelas. Ciee, yang lagi asyik tuh. Aku mencari-cari dirimu sambil tersenyum kemudian membalas, Tenang aja beph, cuman kamu yang ada di hatiku kok :) Dan ketika aku menemukanmu, entah pura-pura atau bercanda kau memasang wajah cemberut, aku tersenyum menikmatinya. Begitupun sebaliknya, apabila kau yang sedang asyik dengan teman lelaki kelasmu, aku yang mengirim pesan cemburu via sms dan giliranku yang pura-pura cemberut ketika berpapasan denganmu.

            Semuanya yang kuduga awalnya hanya bercanda, berubah menjadi serius ketika undangan pernikahan teman sekelasmu. Aku cukup kesulitan menebak jalan pikirmu kala itu. Teman-teman sekelasmu mengajakku ikut ke sana dengan dalih dirimu yang mengajakku. Aku menanyaimu lewat pesan singkat apakah kau benar-benar ikut dan kau menjawab bahwa kau tak ikut. Kesalahanku adalah mengiramu sedang mencandaiku. Kukira kau ikut, namun sedang mengerjaiku atau mungkin lebih tepatnya mengetesku, sejauh mana antusiasku mendengar namamu. Aku pergi ke pernikahan teman sekelasmu dan menemukan teman-teman sekelasmu yang tertawa-tawa melihatku datang. Mereka mengerjaiku dengan memanfaatkan namamu! Kuceritakan pasdamu yang tak benar-benar datang karena alasan tertentu, bukannya membelaku kau malah marah. “Bagaimana sebuah hubungan akan bertahan kalau salah satunya tak percaya yang lain?” Mulai saat itu, aku tahu, kita telah saling merasa memiliki.

            Tanpa ucapan cinta, kita tiba-tiba menjadi sepasang kekasih. Sebuah awal yang indah. Aku tak pernah dengan resmi menyatakan cinta padamu, begitupun sebaliknya. Kita tiba-tiba saja saling mencintai, saling menyayangi dan saling memiliki.  Dan itulah sekilas kisah awal kita yang pada akhirnya bermuara pada luka. Semua awal yang sedemikian itu hanya akan membawa kita pada satu kata: perpisahan. 


Comments

Popular Posts