Beberapa Hari Sebelum Kamu Pergi

Beberapa Hari Sebelum Kamu Pergi

Benarkah Tuhan cemburu, pada kisah-kisah manusia yang diciptakanNya sendiri; pada hasrat-hasrat manusia yang tak terpenuhi; pada kemunafikan-kemunafikan manusia yang terselubung kesantunannya sendiri; atau pada kisahku dan kisahmu?

            Kurun ini, pertanyaan itu datang bertubi-tubi, seiring berlalunya kamu tanpa pernah kembali. Kamu tahu, aku terlalu kalut memikirkannya. Memikirkanmu.

            Pertanyaan-pertanyaan itu seakan memaksa menciptakan dunia tersendiri bagiku. Dunia yang bahkan tak pernah sekalipun aku dan kamu sentuh. Hampa. Aku bahkan tak pernah bisa menemukan jawabannya. Walaupun telah kuhabiskan waktu berjam-jam, dan bahkan nyaris setiap malam, pun hanya untuk mencari jawabannya, aku tetap tak menemukan.

            Aku seperti pesakitan yang benar-benar akut, mencoba mencari-cari obat yang bisa menyembuhkan, memberi kepuasan, atau setidaknya meredamnya sesaat.

            Atau bisa dibilang aku ini pecandu, yang mencandui pil-pil ekstasi; mendewa-dewakannya di setiap resah dan sepi menghantui. Pil-pil itu menjelma jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi, yang sialnya kuciptakan sendiri, dan aku mencanduinya setengah mati.

            Benarkah Tuhan cemburu? Tidak, mana mungkin Dia cemburu pada makhluk seamatir diriku. Lantas mengapa Dia mengambilmu, mengambilmu dariku?

            Oh, sial, mengapa pula aku harus memusingkannya. Kumohon, seseorang, berikan aku jawaban. Siapapun. Atau Tuhan, mengapa tidak Kau saja yang menjawab. Oh ya, aku lupa, Kau mana mau meladeni orang-orang sepertiku; yang terlalu mengkritisiMu. Jika Kau enggan meladeni, kirimi saja aku MalaikatMu, untuk menambal lubang-lubang keskeptisanku padaMu. Tidakkah Kau resah dengan hambaMu yang susah diatur ini?

            Setahuku, bukankah Kau Maha Bertanggungjawab? Kau yang membuatku bertanya-tanya, Kau pula yang seharusnya menjawab. Ayolah, kirimi aku, siapapun malaikatMu. Mau Jibril, Mikail, Israfil, terserah. Asal jangan Izrail. Sebab aku tak terlalu suka padanya, lebih tepatnya, pada tugasnya. Ia terlalu menjadi perwiraMu yang penurut. Padahal seluruh makhluk di muka bumi segan padanya. Untuk seukuran seseorang yang paling disegani di seantero bumi ini, paling tidak, dia kan bisa memanfaatkannya. Tapi dia malah cuma jadi perwiraMu yang manut-manut saja. Dan aku benci hal seperti itu.

            Dan jika terdengar tak terlalu banyak menuntut, aku memintanya kembali, semalam saja, Tuhan. Sebab ada banyak hal yang tak pernah sempat kuberitahukan, juga kulalukan dengannya.
Aku ingin memberitahunya, aku ingin melakukannya, semalam saja, sebelum dia benar-benar pergi, tanpa pernah kembali.

            Ah, betapa jika kamu ingat. Kita hanyalah sepasang muda-mudi yang terlalu dimabuki asmara. Di balik seragam putih abu-abu, kita memerankan dengan baik lakon peran masing-masing.

            Aku hanya seorang perempuan mungil yang berpenampilan biasa-biasa saja. Banyak orang bilang, aku ini pengasih, dan itu menjadi daya tarik bagiku sebagai perempuan mungil yang berpenampilan biasa-biasa saja.

            Mungkin itu juga yang membuatmu tertarik padaku, lelaki tinggi, putih dan kikuk. Haha, kikuk? Aku jadi ingat, aku selalu menertawai kekikukanmu. Iya, kikuk. Dan mengapa kamu kusebut kikuk? Karna jika kamu sudah berada di sampingku, kamu terlihat canggung, kaku, dan salah tingkah. Terlebih jika kita sedang berbincang-bincang berdua, lalu dipergoki oleh teman-teman kelas dengan sorakan, “Ciee, Ami sama Wira, ciee.”
Ah, saat itu kamu benar-benar kikuk , Wir. Terekam dari kecanggungan yang kamu coba tutup-tutupi dengan senyum-senyum malu.

            Di lain waktu, kamu bisa menjadi seanggun Jibril. Iya, Jibril, malaikat penyampai wahyu itu. Kamu nampak anggun dengan terobosan-terobosan yang kamu kemukakan ketika menjawab pertanyaan guru-guru yang mengujimu, selalu terjawab dengan sempurna. Seakan terobosan-terobosan itulah wahyu yang telah kamu sampaikan, dan teman-teman sekelas, begitupun aku, menerimanya dengan terpana. Ah, lakumu benar-benar mengejutkan, Wir.

            Di lain waktu lagi, lagi-lagi lakumu mengejutkanku. Sering beberapa kali, kamu selalu diledeki oleh teman-temanmu dengan semakin dekatnya kita. Aku masih sangat ingat betul dengan percakapan-percakapannya,

“Ciee Wira, kapan tuh jadiannya sama si Amii?? Pajaknya dong Wiiir, haha.”
“Iya Wir, biar aweeet, pajaknya doong.” Yang lain ikut-ikutan nimbrung.
“Apa sih, orang udah putus juga.”
“Hahahaha, bisa aja luuu.”

Haha, lucu ya, kapan jadiannya kok tiba-tiba sudah putus. Di situ hatiku campur aduk, Wir, antara menikmati guyonanmu dan merenungi kata-katamu. Apa sih, orang udah putus juga. Sudah putus? Kapan jadiannya? Aku memang bukan siapa-siapamu, yang entahlah kamu pun menganggapku siapa. Yang jelas dan pastinya, aku merasa nyaman di sampingmu, Wir, mau kamu anggap aku sebagai teman, kakak, adik, atau apapun, dalam hubungan ini. Bukankah kamu selalu datang padaku juga tidak sebagai apapun, aku pengasih, dan kamu membutuhkan belas kasihku, begitu saja cukup kan? Dan perihal hubungan ini, biarlah menjadi tanda tanya dalam benak-benakku, yang akan kutunggu jawabnya darimu, tanpa perlu aku bertanya. Yah, aku akan menunggunya, menunggumu datang dan menjelaskannya padaku, selalu.

            Selain itu semua, ada hal dalam dirimu yang membuatku sedikit resah, dan itu adalah lakumu yang tenang, setenang riak-riak di telaga. Tak terusik, dan lagi-lagi, anggun. Pernah sesekali angin usil menggodamu, dan dalam ketenanganmu, kamu tetap bergeming. Sama sekali tak terusik. Hingga bahkan Tuhan memanggilmu, kamu tetap bergeming, tenang, dan memenuhinya dengan anggun.

            Meresahkan bukan, lakumu yang satu ini. Aku masih mengingatnya Wir, jelas dalam benakku. Bukankah kamu seperti bisa menolaknya? Tak bisakah kamu sedikitnya saja bernego? Tak bisakah setidaknya kamu meminta dispensasi, selayaknya teman-temanmu yang selalu tak pernah tenang jika diberi tugas menumpuk, dan selalu saja minta dispensasi. Tapi kamu malah tetap tenang dan kalem, seakan memenuhinya bukanlah perkara yang sulit. Seakan tak ada yang benar-benar menyimpan sesak dan duka akan kepergianmu. Tepat beberapa hari sebelum Tuhan benar-benar memanggilmu. Iya, aku mengingatnya dengan jelas. Bahkan, aku menghitungnya, Wir.

***
40 Hari Sebelum Kamu Pergi…

            Seperempat jam sebelum malam menggagahi langit yang kelam. Beberapa pesan singkatmu muncul di ponselku. Aku suka kamu, mi. Pesan pertama. Aku sayang kamu, mi. Pesan kedua.  Aku ingin memelukmu, mi. Pesan terakhir. Entah apa yang tiba-tiba membuatmu se-frontal ini. Aku syok. Kuakui, aku tak bisa menutup mata malam itu. Pesan-pesan singkatmu telah membuatku kalang kabut. Aku terus merasakan degup jantungku yang semakin kencang, bertalu-talu, hingga akhirnya terhempas waktu. Dan aku terlelap dengan selekuk senyum di bibir.

            Esoknya aku memastikan, benarkah itu semua terucap darimu semalam? Atau jangan-jangan kamu  kerasukan Daniel Crieg di film James Bond itu, yang gemar dan terlatih mengucap cinta pada wanita mana saja, kapan saja, dan seenaknya saja. Meski aku sendiri sudah berharap-harap kamu mengucap.

            Betapa kecewanya aku saat itu, kamu bilang bahwa tadi malam semua hanya bercanda. Ya, bercanda. Persepsiku tentang Daniel Creg salah, bahkan kenyataannya lebih parah. Dalilmu, “Aku cuma ingin bikin kamu kaget plus deg-degan doang, mi. Hehe, maaf yah.”
“Ah sial kamu itu, sukses bikin aku deg-degan banget tau ga, hih.”
Setelah itu aku dan kamu tertawa, kencang, dan lepas, seakan kejadian tadi malam sudah menguap begitu saja. Dan dalam tawa itu, aku terluka.

30 Hari Sebelum Kamu Pergi…

            Hari itu, ada seorang lelaki (temanmu) yang meminta darimu nomer ponselku, yang awalnya kamu sedikit risih soal itu.
“Buat apa?” Tanyamu.
“Buat PDKT Wir, hehe.”
“Haha.”
Ketika temanmu –yang ternyata cuma tanya-tanya soal pelajaran-pelajaran- itu mulai menghubungiku, nampaknya dia berhasil membuatmu risih. Haha, lucu. Kamu terus bertanya-tanya bicara soal apa aku dengannya. Dan berkali-kali aku meyakinkanmu bahwa dia cuma tanya-tanya soal pelajaran, kamu tak percaya.
“Kamu cemburu, Wir?”
Pertanyaanku membuatnya terdiam. Lama. Haha dasar, susah banget ngaku kalau cemburu. Dan aku meninggalkanmu dengan tertawa, tawa kemenangan. Dan kamu membalasnya dengan sesimpul senyum. Menyenangkan bukan, mengetahui bahwa orang yang kamu cintai juga mencintaimu?

10 Hari Sebelum Kamu Pergi…

Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini, kau takkan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini, kau akan tetap kusiasati.
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini, kau takkan letih-letihnya kucari.

            Sepulang sekolah, secarik kertas berisi sajak-sajak kamu berikan padaku. Belakangan baru kuketahui itu adalah sajak milik Sapardi, penyair kondang itu. Belakangan baru kuketahui juga makna dari sajak ini, soal kepergian seseorang. Dan apa maksudmu Wir, memberiku sajak seperti ini?

3 Hari Sebelum Kamu Pergi…

            Berdua saja, sepulang sekolah kita di kantin. Entah apa yang kamu dan Tuhan skenariokan, tiba-tiba saja saat itu kantin sesepi pemakaman. Hanya ada beberapa gorengan, kursi-meja, dan sepasang suami-istri penjaga kantin yang tidak terlalu memedulikan mengapa cuma ada kita seorang di kantin ini.

“Aku ingin pamit padamu, mi.” Kamu memulai pembicaraan.
“Memang mau kemana?”
“Aku ingin pergi dan tak akan pernah kembali lagi, mi.”

Aku mulai merasa janggal.

“Tuhan memanggilku, mi.”
“A, apa maksudmu? Jangan absurd gitu ah.”

Sial, kamu malah tersenyum tenang. Tak tahukah di depanmu aku sudah gelisah setengah mati dengan topik pembicaraanmu ini? Sialan dengan sikap tenangmu itu.

“Kamu kenal Tuhan kan, mi? Dia memanggilku.”
“Tentu saja, aku mengenalNya melebihi yang kamu tahu.”
Aku mulai sedikit meraba-raba apa yang kamu bicarakan. Soal Kepergian.
“Nampaknya Tuhan sudah kangen denganku, mi.” Lagi-lagi kamu tersenyum.
Brengsek, berhenti tersenyum. Kumohon. Apa maksudmu tersenyum dengan pembicaraan seseram ini. Kamu kira lucu, hah?
“A, a, apa maksudmu, Wiir? Kumohon jangan membicarakan hal seperti iniii.” Aku tak tahan. Tangisku pecah.
“Tapi aku harus memberitahumu, sebab Tuhan sudah kangen padaku, mi.”
“Aku lebih kangen dariNya!” Ah, seperti ada belenggu yang lepas ketika ini terucap. Hal yang dari dulu ingin kusampaikan. Tapi bukan itu yang harus diperbincangkan sekarang. Keabsurdanmu dan Tuhan, yang mesti jadi topik utamanya sekarang.
“Dan Tuhan juga mencintaiku, mi.”
“Dan aku, aku juga mencintaimu melebihi cintaNya, Wiiir….”
“Dan yang paling terpenting mi, Tuhan menyayangiku.”
“Aku juga menyayangimu Wiiiiir…”
Lalu kamu pergi, meninggalkanku yang mulai menangis sekencang-kencangnya, karena tepat tiga hari setelah itu Tuhan benar-benar memanggilmu.

***

[Sesungguhnya kita semua milik Allah,
dan hanya kepadaNyalah kita kembali
Al-Baqarah: 156]

*Cerpen ini merupakan dwilogi dari cerpen saya yang berudul ‘Berguyon dengan Mati’.



Kupersembahkan cerpen ini untuk wanita yang pernah mencintainya,
Selamat bernostalgia.
Serang, 01 Januari 2014


  


Comments

Post a Comment

Popular Posts