Yang Tak Terkenang

Yang Tak Terkenang

Satu per satu orang-orang itu jatuh. Tumbang tanpa ada perlawanan. Mereka pasrah akan ajalnya. Sebagian dari mereka berusaha melawan, alhasil, rasa sakit yang mereka rasakan. Mereka hanya bisa bisa menunggu kematian datang menghampiri.
DORR!!
Suara itu menggema di kepala orang-orang yang mendengar.
Bagi mata yang tak pernah diperlihatkan, tentu sangat mengerikan. Bayangkan saja sendiri, organ-organ mereka berhamburan.
Darah mereka bercipratan mengenai semua yang ada. Bumi pun kian memerah, lantaran akibat darah yang masih basah.
Jeritan tangis, teriakan duka, didendangkan oleh orang-orang yang menyaksikan.
Kejam.



            Kejadian itu masih terbayang jelas di benak Syamsul. Terus keluar bak air dari kendi, yang ketika penutupnya dilepas, mengalir begitu deras. Dan kejadian itu perlahan kian menderas, menyeruak di setiap mata Syamsul terpejam. Yang kemudian diakhiri dengan jeritannya sendiri, nyaris setiap malam. Syamsul kemudian terbangun, keringatnya merembesi selembar kain lusuh yan menutupi badannya, basah, dan sudah berhari-hari tak ia ganti. Lalu ia beranjak bangun dari seikat rumput yang ia pakai untuk tidur tadi, dan pergi menuju sungai Keramatwatu, yang tak jauh dari tempat ia tertidur. Di sana, di genangan air nya, ia mengamati kembarannya sendiri. Kembarannya, yang matanya merah penuh benci, dan lekuk-lekuk pipinya yang menyimpan dendam.

            Bukan hanya Syamsul yang sepertinya menyimpan dendam. Mungkin, nyaris seluruh orang-orang di Cilegon menumpuk dendamnya dalam-dalam, terlebih para petani. Sudah lama dendam itu mereka timbun. Semenjak orang-orang kulit putih datang -kompeni, koloni, pendatang, atau apapun sebutan mereka, mungkin lebih pas dipanggil keparat atau bangsat-, dan mulai semena-mena seakan seluruh tanah di belahan Bumi ini milik mereka, termasuk Cilegon. Tiap-tiap kepala yang mereka cap sebagai petani  dipaksa menyerahkan pajak.

Setiap panen tiba, di penghujung September, petani-petani itu harusnya bersukacita. Kenyataannya, setelah hampir setiap siang mereka mengorbankan kulit langsatnya pada matahari, dan menunggu sekiranya dua tahun sekali, itu pun jika mujur. Dengan pengorbanan dan penantian tersebut, ‘seharusnya’ petani-petani itu memanen kebahagiaan pada setiap butir padi-padinya. Tapi ini hanya kata ‘seharusnya’, yang sayang, potret klise-nya tak semuluk itu. Jangankan panen, dapat hasilnya pun hampir tidak. Karena terkadang, orang-orang kulit putih itu serakahnya melebihi keserakahan babi-babi yang berkubang di lumpur. Yang penting setiap harinya, minimal kebutuhan mereka terlebihi. Dan masa bodoh soal petani-petani itu mau makan apa nantinya. Mungkin nanti bisa diberikan sisa-sisa bekas orang-orang kulit itu makan. Iyah, cukup sisanya. Baik sekali mereka. Dan itupun harus bekerja dulu menjadi buruh, budak, dan pelayan-pelayan mereka. Brengsek.

           Tidak berhenti di situ saja. Biadab berkulit putih itu menambahnya dengan Cultursteelsel –belakangan dijejali terminologi mereka, dan dipaksa melafalkannya pula-, atau pada bahasa kami disebut tanam paksa. Dari namanya saja, kamu pasti sudah tahu kan? Para petani yang sudah diperas habis itu penderitaannya masih harus ditambah dengan menanam tanaman seperti cengkih, tebu, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Yang menjengkelkan, mereka tak mau peduli bagaimana para petani harus menyetor, mau mereka kelaparan, mau mereka kepayahan, dan mau mereka mencuri sesama petani lain, harus menyetor dengan porsi yang sudah ditentukan, juga waktu yang sudah ditenggatkan.

            Bagi yang melawan? Tentu kamu bisa menerka. Mereka berani mengancam dan memaksa, berarti mereka sudah menyiapkan kekuatan buat yang berani melawan. Pertama kali kebijakan ini dilakukan (mereka sebut ini kebijakan, tapi sebenarnya lebih cocok disebut penindasan), banyak petani yang menentang. Dan salah satunya adalah Bapaknya Syamsul.
“Setor! Maksute ape mengkonon kuen!?”  

            Emosi bapak Syamsul baru saja meledak. Saat itu terjadi keributan di pesawahan miliknya. Bangsat-bangsat itu mendatangi pemilik-pemilik sawah, guna memberitahukan perihal pajak yang harus diberikan kepada Pemerintah. Mereka berombongan, menaiki kuda dan bersenjata. Sebilah pedang dan kopak, bedil yang menembakkan besi bulat kecil, melekat pada seragam mereka. Mereka ditemani seorang pejabat pribumi, yang diangkat sebagai pegawai pemerintahan mereka, pun yang paling terpercaya di antara masyarakat, sebagai perantara untuk mengomunikasikan semuanya pada para petani. Fikir mereka mungkin, dengan membawa salah seorang pribumi yang terpercaya, akan sedikit mencairkan suasana. Namun situasi malah tambah kacau, seiring dengan pandangan benci para petani yang tajam pada pejabat pribumi tersebut. Tatapan yang seakan mengatakan, Apa-apaan dia, sudah lupa sama bangsa sendiri apa? Kok bisa-bisanya membantu mereka.

Dan semua betambah kacau ketika mereka tiba di ladang milik Bapak Syamsul. Awalnya para petani menolak mentah-mentah, mendengar penjelasan pejabat pribumi itu menerangkan perihal pajak yang sangat memberatkan mereka, tetapi ketika diimbuhi dengan jaminan “Demi keamanan dan kesejahteraan kita”, akhirnya berhasil membuat petani-petani itu menurutinya dengan berat. Lagipula melihat bangsat-bangsat bersenjata itu, mereka sudah menciut. Tak ada yang berani berakhir dengan sebuah peluru besi yang bisa menembus kulit tipis mereka, atau sebilah pedang yang mampu menebas leher mereka sekaligus. Tak ada, kecuali petani nekat seperti Bahri, Bapak dari si Syamsul. Terlihat, pejabat pribumi mulai kewalahan berdebat dan menjelaskan.

“Ini demi kesejahteraan kita….”
“Mana ada kesejahteraan seperti itu!? Mana ada kesejahteraan tiap bulanne harus ngasih berkarung-karung hasil panen kita padamu, pada bangsat-bangsat kuen?? Arep mangan ape kite?? Ndas sire tah, hah?”

Pejabat pribumi itu benar-benar kewalahan. Tak tahu lagi bagaimana mengatasi seorang petani yang keras kepala dan tak sayang nyawa.

“Wat is er?” Salah seorang dari bangsat-bangsat itu menghampiri, mencium bau keganjilan. Bau penentang.
“Maakt niet uit. Orang ini hanya keras kepala.” Pejabat pribumi itu mencoba menjelaskan situasi.
“Ik wil niet weten, cepatlah kau urus!”
“Zeeker, Meester.”

Aih, brengsek petani ini, tinggal nurut saja kok susah. Batin si pejabat. Tak mau ambil pusing, ia kemudian memutuskan,

“Pokoke tiga bulan setelah ini semua harus sudah siap, kita tak mau tahu, semua petani di sini juga gitu, bukan kamu saja, kalau tidak ya kamu tahu sendirilah apa yang akan terjadi, hahaha.”
  
Dan pejabat itu kemudian pergi, tertawa lepas, puas, dan suaranya menggema tak terbendung, meninggalkan Bapak Syamsul yang emosinya meluap-luap tak tertampung.

            Dahulu, pejabat-pejabat pribumi itu adalah bangsawan-bangsawan yang sangat dihormati, disanjungi, dan sangat dielu-elukan kesantunannya. Mereka diberi kepercayaan sebagai orang bijak yang menyejahterakan rakyat. Ada beberapa perselisihan, maka bangsawan-bangsawan ini datang; lantas mendamaikan. Ada yang menderita dan kesusahan, bangsawan-bangsawan ini bertandang; lalu membantu sebisa mungkin.

Sayang, sampai orang-orang kulit putih datang, semua berubah. Bangsawan-bangsawan ini mulai berebut-rebut jabatan dan kekuasaan. Inlandse Hoodfen –Asisten kewadenaan, setingkat dengan bupati-, begitulah sekarang mereka melafalkannya, adalah jabatan yang diperebutkan oleh bangsawan-bangsawan ini. Jika sudah dapat jabatan ini, jangankan hidup susah, melarat pun tak bakal pernah kau temui. Dari sinilah mereka terlena, lupa bahwa mereka punya bangsa sendiri yang harus diperjuangkan; lupa bahwa tanah yang dijejakinya sekarang adalah tanahnya sendiri.
***

Sudah lewat tiga bulan, semenjak kedatangan Pejabat Pribumi dan pegawai-pegawai pemerintah koloni ke sawah Bahri, sawah yang telah dirawat dengan keluarganya secara turun-temurun, hingga berujung mentok padanya; kelak, pastinya akan diturunkan ke keturunan yang berikutnya pula, yaitu Syamsul.

            Dan mana bisa ia dengan ikhlasnya menyerahkan begitu saja hasil panen dari swawahnya yang turun temurun itu, nyaris seluruhnya. Yang bahkan, tak sedikitpun ia dan keluarganya kebagian. Benar-benar keterlaluan!

Akhirnya tiba, waktu pajak yang sudah ditenggatkan. Tepat di penghujung September, saat fajar baru saja merekah, mereka kembali datang. Terlihat di kejauhan, sekitar belasan orang, berkuda serempak, diiringi kereta yang siap membawa ratusan kilo hasil pajak, dan tentunya, membawa senjata. Kopak yang digantungkan di punggung, dan sebilah pedang yang melekat di pinggang. Cukup untuk membuat nyali mengecut. Sementara di persawahan Bahri menunggu, bersama petani lainnya. Mereka sama sekali tidak menyiapkan pajak hasil panen mereka, melainkan amarah dan benci berwujud golok dan pacul, yang sudah mereka pendam dan siapkan seminggu yang lalu.

“Ingat, lamun dudu kite-kite, sape maning? Mau sampai kapan? Sekaranglah saaatnya kita memberantas penindasan, kezaliman, dan kemungkaran.” Begitulah Bahri berdalih, ketika ia akhirnya berhasil mengumpulkan petani-petani di Cilegon, seminggu sebelum waktu yang ditenggatkan. Dikumpulkannya petani-petani yang bernasib sama, dipaksa menyerahkan hasil panen mereka pada keserakahan orang-orang biadab berkulit putih.

Betul! Ayo! Usir mereka dari tanah kita! Bunuh! Jangan biarkan mereka seenaknya! Suara-suara petani itu bergerumuh, terbakar sumbu murka dari Bahri.

Di tengah kecamuk murka, Bahri dan teman-teman petaninya menyusun rencana. Sematang-matangnya, sematang api yang sudah mendidih di hati.

            Rombongan berkuda itu berhenti, tepat di depan para petani-petani. Ternyata ada dua orang pejabat pribumi yang ikut serta. Salah satunya adalah pejabat yang kemarin datang menjelaskan perihal-perihal pajak. Ia tersenyum manis, turun dari kereta kemudian menghampiri para petani.

“Apa kabar semuanya? Sehat sekabehan?”

Aih, tak tahu malu, sempat-sempatnya bertatah-ramah, padahal mau menindas. Bahri tak tahan, ia benar-benar murka.
Buk! Satu pukulan telak di wajah pejabat itu, hingga ia jatuh terjengkang. Darah mengalir deras dari mulutnya.

“Apa-apaan kamu, sudah tak sayang nyawa ya…”

Buk! Buk! Lagi, lagi, dan lagi Bahri memukul pejabat itu. Tanpa membiarkannya bicara lagi, sebab Bahri muak mendengarnya. Di wajah, perut, dada, semuanya, pukulan-pukulan Bahri bersarang. Sementara di belakang pejabat itu, satu pejabat lainnya lagi berteriak-teriak panik, meminta bantuan pada rombongan tadi.

“Alstublieft!”

            Serentak, pasukan kulit putih mulai bergerak, menuju sumber keributan. Melihat pasukan-pasukan itu, dengan sigap Bahri berteriak,

“Sekaraaaang!!”

            Dari sisi kanan dan kiri persawahan, petani-petani lain bermunculan. Menyerang, membabibuta. Dalam wajah mereka tersirat api benci. Api yang baru saja menyala-nyala, bahkan kelembutan anginpun tak sudi menjinakkan.
          
            Pasukan kulit putih tertekan, mereka kalang kabut, tak siap dengan serangan mendadak para petani. Darah, dendam, benci, amarah, jeritan, suara senapan, bertebaran.
            Tapi sayang, beberapa saat kemudian, bala bantuan pasukan kulit putih tiba-tiba datang. Ternyata pejabat yang dipukuli Bahri hingga babak-belur itu pergi menyelinap di tengah keributan untuk memanggil bantuan. Kemenangan para petani yang tadinya sudah di depan mata, raib.  
            Pertempuran terjadi lagi, tapi kini dengan kondisi petani-petani yang sudah kewalahan. Jumlah mereka seimbang. Namun petani-petani itu tetaplah petani, mereka bukan tentara. Dibanding dengan pasukan orang-orang kulit putih yang sudah terlatih, handal, dan berpengalaman. Sekejap, petani-petani ini berhasil ditumpaskan.
            Bahri, yang diketahui sebagai dalang pemberontakan para petani ditangkap. Petani-petani lainnya yang masih hidup ikut ditangkap. Yang memberontak dan yang tidak, mereka semua ditangkap. Istri, anak-anak, dan keluarga mereka menjerit-jerit histeris, menangis-nangis, mengemis-ngemis minta tolong supaya keluarga mereka, petani-petani yang ditangkap tadi  diampuni. Sebagian dari petani-petani dibebaskan, tapi dengan syarat-syarat tertentu. Setiap bulannya harus memberikan pajak, tak peduli apakah itu sedang dalam masa panen atau tidak. Sebagian lagi tidak bisa dibebaskan, dan hanya bisa diampuni dengan nyawa mereka sendiri.
            Esoknya, eksekusi digelar. Semua rakyat Cilegon, dari ibu-ibu hingga anak-anak tanpa terkecuali, wajib menyaksikan. Sebagai peringatan, bagi siapa lagi yang ingin melawan, akan menjadi korban. Bahri dan petani-petani lainnya digiring menuju Alun-alun Kramatwatu. Mereka semua diikat pada sebuah pasak yang ditanami dalam-dalam ke tanah. Berbaris dan berjejer lurus. Sementara di depannya, beberapa tentara kulit putih dalam posisi siap menembak. Semuanya bersitegang menunggu berjalannya eksekusi, bahkan burung-burung ikut gelisah, seakan tahu apa yang bakal terjadi, mereka ricuh bercicit-cicit, terbang kian-kemari di antara pepohonan Alun-alun Kramatwatu.

“Eksekusi ini dilakukan sebagai peringatan untuk kewadenaan Cilegon, bahwa yang memberontak, akan bernasib sama seperti ini!” Seorang Jendral Kulit Putih memecah ketegangan, memulai jalannya eksekusi.
“Bahri, sebagai terdakwa pemimpin pemberontakan petani-petani Cilegon, adakah hal-hal yang ingin disampaikan sebelum eksekusi dimulai?”
            
Bahri, yang tak jauh berdiri dari Jendral tersebut tersenyum kecut, kemudian berteriak dengan lantangnya,

“Atas nama rakyat Cilegon kami berjuang, melawan ketidakadilan, kezhaliman, dan menumpas penindasan! Ceritakan pada mereka saudara-saudaraku, ceritakan pada mereka tentang perjuangan-perjuangan kami, ceritakan pada anak-cucu kalian tentang kami yang mencoba berjuang, untuk kami, untuk kalian, untuk kita!!”

Tropen, bereiden…. Mulai!”
DORR! DORR! DORR!
Peluru-peluru melesat.
Satu per satu orang-orang itu jatuh. Tumbang tanpa ada perlawanan. Mereka pasrah akan ajalnya. Sebagian dari mereka berusaha melawan, alhasil, rasa sakit yang mereka rasakan. Mereka hanya bisa bisa menunggu kematian datang menghampiri.
DORR!!
Suara itu menggema di kepala orang-orang yang mendengar.
Bagi mata yang tak pernah diperlihatkan, tentu sangat mengerikan. Bayangkan saja sendiri, organ-organ mereka berhamburan.
Darah mereka bercipratan mengenai semua yang ada. Bumi pun kian memerah, lantaran akibat darah yang masih basah.
Jeritan tangis, teriakan duka, didendangkan oleh orang-orang yang menyaksikan.
Kejam.

            Di ujung sana, di tengah-tengah gegap-gempita tangis dan jeritan, sambil digendong ibunya, Syamsul yang masih bocah merekam kejadian itu dengan matanya yang masih lugu. Yang sampai sekarang, kejadian itu terus menghantui mimpinya. Saat itu, dalam dekapan ibunya yang menangis tersedu-sedu, ia dengan polosnya bergumam,
“Ah, bapak, perjuanganmu sia-sia. Sehebat apapun rakyat Cilegon bercerita, perjuanganmu hanya akan menjadi sekedar tulisan sejarah yang sama sekali tak akan pernah memedulikan pengorbana-pengorbananmu. Bahkan, hanya tahun dan nama peristiwanya saja yang terkenang, pak. Kasihan sekali dirimu. Selamat menjadi Yang Tak Terkenang, pak.”

Ketika sejarah hanya bisa mengenang, tanpa perlu tahu pengorbanan-pengorbanan yang terbuang
Serang, 16-11-2013


*Cerpen ini diambil dari peristiwa Geger Cilegon 1888.
  Beberapa bahasa yang mungkin tidak dimengerti diambil dari bahasa Jawa Banten dan Belanda.

Comments

Post a Comment

Popular Posts