Sirkus Pohon: Saya yang Tak Menyesal Membeli Buku Ini
Sumber Gambar:
https://s2.bukalapak.com/img/2614459451/w-1000/NOVEL_SIRKUS_POHON_ANDREA_HIRATA.jpg
|
Judul
|
: Sirkus Pohon
|
Penulis
|
: Andrea Hirata
|
Halaman
|
: 424 halaman
|
Ukuran
|
: 130 mm x 250 mm
|
Terbit
|
: 15 Agstus 2015
|
Penerbit
|
: Bentang Pustaka
|
ISBN
|
: 6022914094
|
Harga Beli
|
: Rp 79.000,00
|
Sebelum saya ngoceh soal buku
Sirkus Pohon ini, saya mau cerita dan jujur sedikit. Saya jarang sekali beli
buku, jujur. Dana terbatas, dan sekalinya sedang ada, saya pastikan itu untuk
perut, senang-senang atau mencoba ‘memutarnya’ untuk kemudian yang
ujung-ujungnya dihabiskan. Maklum, saya masihlah sorang pemuda yang didanai
beasiswa puluhan tahun dari orang tua (semoga masa berlaku beasiswanya segera
habis, yang berarti, saya sudah kerja atau sudah kaya). Alasan lainnya, orang
tua saya doyan beli buku, jadi saya tidak mesti berpuasa berhari-hari agar bisa
menabung dan membeli buku. Alasan terakhir, saya selalu yakin, Gusti Allah akan
mewahyukan ilham untuk teman atau saudara saya yang telah membeli buku dan
menaruhnya di rak, yang untuk kemudian saya lihat dan dengan penuh bahagia saya
pinjam. Sungguh tidak terpuji. Namun kemudian, hal-hal tersebut ternyata tidak
terjadi pada buku Sirkus Pohon ini. Singkat cerita, saya merelakan diri untuk
membeli buku ini tanpa mengindahkan prinsip-prinsip ngeles saya tadi.
Kenapa?
Buku ini sengaja saya beli untuk
hadiah buat Ibu di hari kelahirannya. Sesekali, saya ingin memberi hadiah buku.
Setelah sebelumnya, dulu-dulu sekali, saya hanya memberi Ibu hadiah buku hasil
pinjaman Perpusda. Memalukan sekali. Dan niat mulia ini mendadak saya pikirkan
pagi-paginya di hari kelahiran Ibu. Sorenya, saya keluar untuk mewujudkannya. Niat
mulia itu nyaris gagal saat saya bertandang ke MOS (Mall of Serang) dan
mengetahui bahwa Toko Buku Tisera sudah tidak lagi menjadi warga MOS. Masih
belum surut, saya tancap gas ke Intermedia dan toko buku tersebut mengaku stok
buku tersebut sudah ludas. Saya sempat menyerah untuk membelikan Ibu pizza saja
sebagai hadiah. Daripada tidak sama sekali. Untungnya sempat terlintas ingatan
tentang sebuah toko buku baru di Serang yang belum pernah saya kunjungi, Toko
Buku Harmoni. Akhirnya, saya mendatangi toko buku tersebut.
Dengan dana yang terbatas, tentu
saya harus berpikir matang-matang soal buku apa yang akan saya beli. Banyak
buku-buku bagus yang layak dibeli. Tentunya, buku ini termasuk dalam daftar
buku-buku itu. Yang jadi masalah adalah, orang tua saya tidak pernah melewatkan
satupun buku-buku Andrea Hirata untuk dibeli. Sebut saja judulnya, bisa saya
pastikan judul itu ada di lemari buku di rumah. Dan saya merasa akan menjadi
orang paling rugi sedunia jika membelinya. Namun hari itu memang niat saya
sudah mantap, saya akan membeli buku itu, sebab saya sudah dijangkiti rindu akan
membaca kisah-kisah khas Andrea Hirata yang selalu bergizi dan lucu. Dan akhirnya,
buku itu sah saya beli! Hadiah untuk Ibu, yang kemudian akan saya baca di rumah
setelah Ibu membacanya. Dasar tidak mau rugi, hehe.
***
Dalam rentang waktu dua tahun
setelah novel Ayah, Pak Cik kembali melahirkan karya terbarunya yaitu Sirkus Pohon.
Sirkus Pohon masih seperti buku-buku sebelumnya, menceritakan
kehidupan-kehidupan sederhana orang udik Melayu di pelosok Belitong. Jika kamu
pembaca setia Pak Cik, tentu kamu tahu, kisah-kisah sederhana itu dikemas
dengan (martabak) special berbumbukan roman, perjuangan, humor, dan sarat
pesan-pesan moral.
Sirkus Pohon bercerita perihal
sirkus kehidupan orang-orang kampung Melayu di Belitong, yang tidak hanya diisi
oleh orang-orang udik, namun juga orang-orang pintar dan terpelajar. Sobri, seorang
pria yang telah memasuki umur di mana pria pada umumnya telah mapan dan
berkeluarga, menjadi pria yang anti mainstream, lulusan SMP,
pengangguran, dan kena cap ‘komplotan bramacorah’ oleh masyarakat
setempat akibat bergaul dengan Taripol, seorang bramacorah level begawan. Tiap
hari Sobri kena omel adik perempuannya lantaran menjadi pengangguran hingga
pada suatu hari ia bertemu dengan seorang perempuan penyuka delima, Dinda.
Pertemuannya itu memberinya semangat untuk lebih gigih mencari kerja tetap,
-setelah sebelumnya menjadi kuli pasar dan kerja serabutan- untuk kemudian bisa
melamar Dinda dan membangun mahligai cinta bersamanya. Sementara Tegar dan
Tara, dua orang remaja yang terus berusaha mencari kenangan di masa kecilnya
saat dulu berkunjung ke Balai Pengadilan Agama.
Perjalanan Sobri mencari kerja
tetap ini kemudian mempertemukannya dengan Ibu Bos, Ibu dari Tara, pemilik
Sirkus Keliling. Bekerja dengan Ibu Bos, ia menjadi seorang Badut Sirkus. Sobri
belajar banyak hal dan terkagum-kagum akan dunia sirkus yang penuh dengan
orang-orang ‘hebat’. ‘Bangun pagi, let’s go!’ adalah salah satu hal yang
Sobri pelajari dari dunia sirkus, tepatnya dari sutradara sirkus tersebut, Ibu
Bos. Sebagai seorang janda, ketegaran dan kegigihan Ibu Bos dalam menjalani
sirkus dan mendidik anak semata wayangnya, Tara, telah membuat Sobri semakin
respek. Seiring berjalannya waku, Sirkus Keliling ini kemudian harus
tutup lantaran menuai duka dari hutang mantan suami Ibu Bos pada seorang
rentenir yang kejam. Sirkus Keliling ini harus tutup tepat saat Tegar hendak
bergabung menjadi awak sirkus tersebut.
Dalam buku ini, Pak Cik masih tetap
konsisten menyelipkan keklenikan orang-orang Melayu kampung dan humor satir
politik. Hal ini tersurat pada munculnya Pohon Delima keramat di halaman rumah
mungil Sobri dan pemilihan Kepala Desa yang menjadi salah satu konflik pada
buku ini. Pohon Delima ini konon bisa mewujudkan keinginan orang-orang dengan
menuliskan keinginannya atau menaruh fotoya di badan pohon delima tersebut.
Mirip dengan konsep Dinding Ratapan di Jerussalem. Kisah pemilihan Kepala Desa
pun menjadi hal yang sangat menggelitik, karena dilakukan dengan seserius
pemilihan Presiden. Ada penasihatnya, ada debatnya, hingga strategi kampanyenya
yang unik!
Terakhir yang ingin saya komentari
pada resensi singkat ini ialah cover belakangnya. Cover belakang
buku novel terbitan Bentang Pustaka ini sama sekali tidak menceritakan
sinopsisnya sebagaimana biasanya buku-buku. Ngomong-ngomong, ini juga sudah
dilakukan sejak buku novel Ayah. Cover belakangnya hanya
menceritakan biografi penuh penghargaan-penghargaan Pak Cik. Hal ini seakan
menunjukkan nama Pak Cik yang memang sudah maestro, sehingga pembaca tidak perlu
sinopsis buku ini, karena buku ini tidak akan membatmu menyesal untuk membeli.
Mungkin hal itu yang ingin disampaikan penerbit. Sombong sekali yah. Sialnya,
itu memang terbukti, saya tidak menyesal.
Maka dari itu, menurut hemat saya, novel
ini sangat saya rekomendasikan untuk:
- Penggemar tulisan Andrea Hirata
- Pembaca dengan genre roman dan komedi
- Pembaca yang ingin belajar sedikit bahasa dan budaya orang Melayu
- Pembaca yang ingin memberi hadiah buku pada orang-orang tercintanya
- Pembaca yang tidak ingin menyesal dalam membeli buku karena dana pas-pasan
Sementara itu, novel ini tidak saya rekomendasikan untuk:
- Pembaca penganut keras genre fantasi, non-fiksi, dan sci-fi
- Pembaca yang belum bisa baca
- Pembaca yang tidak punya uang sama sekali untuk beli buku ini
Dan rating saya untuk buku
ini adalah 9/10. Tak usah kau tanyakan kelas novel ini lagi pada saya dengan rating
tersebut.
Resensi ini juga dimuat di biem.co.
Tag:
Sirkus Pohon, Novel Sirkus Pohon, Andrea Hirata, Buku Kesepuluh Andrea Hirata, Beli Sirkus Pohon, Jual Sirkus Pohon, Resensi Sirkus Pohon, Ulasan Sirkus Pohon
Comments
Post a Comment