PERPISAHAN (7)
“Aku
ingin berhijrah. Aku ingin kita berhijrah.” Ia berkata dengan mantap.
Kali ini apalagi maunya?
Aku tau kita sama-sama merasakan
tekanan pada situasi ini, situasi yang kau sendiri ciptakan, ah maaf, maksudku
kita sama-sama ciptakan. Kau pasti merasakan cinta yang begitu dalam, namun
nalurimu menolaknya bertubi-tubi. Aku bisa menebaknya karena aku pun mengalami
hal yang sama. Naluri kita saling mengatakan tidak, meski aku lebih sering menyangkalnya.
Dan
yang membuatku takjub adalah dirimu yang selalu mantap untuk mengatakan tidak.
Dan
dari penolakanmulah, nurakiku terketuk kencang.
Aku
tahu, ini memang berat. Bagiku, hal ini seperti aku yang berusaha menahan nafas
untuk waktu yang lama. Tiga puluh detik barangkali. Atau satu menit. Atau lima menit.
Atau satu jam. Atau bahkan berjam-jam. Ini seperti membunuhku, sayang, sungguh.
Sudahlah, kita
telah sering membahasnya.
“Belum
terlambat, kok. Tak ada waktu yang membatasi seseorang untuk berhijrah.” Kau
meneruskan dan tersenyum.
“Ya,
memang tak ada.” Aku ikut tersenyum, senyum yang kecut.
Aku
mulai menduga apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan.
“Kau
ingin kita berpisah?”
“Aku
ingin kita berhijrah.” Kau mengoreksiku.
“Hijrah sangatlah sulit. Dan istiqomah
menjaganya lebih sulit lagi. Apa kau siap untuk beristiqomah?” Aku mencoba
berlaga bijak.
“In shaa Allah, siap dong.”
Aku
tak tahu sebenarnya pergulatan batin macam apa yang kau lalui sehingga bisa
seperti ini: kau tersenyum ceria dengan mata yang sembab.
“Maksudku,
kau siap untuk menghadapi hal-hal mengejutkan yang akan terjadi?”
Kau
mengangguk.
Aku
melanjutkan, “Maksudku kau siap untuk tidak berbicara denganku lagi?”
Kau
mengernyit dan menatapku, “Loh, apa kita perlu sampai harus memutus tali
silaturahmi?”
“Tidak
juga. Namun aku butuh waktu.”
“Baiklah.”
Kini
kau yang terdiam.
“Yaudah,
yuk.” Aku beranjak berdiri.
“Ke
mana?”
“Berhijrah.”
Kini aku yang tersenyum, mencoba untuk tersenyum.
Orang-orang
berlalu-lalang. Ada yang berlari, bermain basket, futsal, takraw, hingga
menkmati kuliner. Sementara tak ada yang memperhatikan bahwa sejoli kekasih di sana telah berhijrah, menyiapkan diri
untuk menempuh perjalanan yang jauh. Dan berjumpa kembali di waktu yang tepat.
Kini
kami tak lagi takut dengan ‘perpisahan’. Sebab kami telah memaknai perpisahan
sebagai sebuah hijrah. Pergi untuk
sesuatu yang lebih sempurna dan indah.
THE END
Serang, 15 Mei 2015.
Comments
Post a Comment