PERPISAHAN (6)
Beberapa
orang mengatakan cinta adalah kebencian. Ketika kau mencintai seseorang maka
kau membencinya; ketika kau membenci seseorang maka kau mencintainya. Sekarang
kau mencintai seseorang dengan sangat, esok bisa jadi kau berubah membencinya
dahsyat. Sekarang kau membenci seseorang hingga muak, esok bisa jadi kau
mencintainya terbelalak-belalak. Karna begitulah cinta, ketika ia datang,
setidaknya jangan terburu-buru mabuk kepayang mengesapnya, persiapkan dulu
dirimu untuk memiliki penawar kebenciannya. Cinta datang dengan sepaket
kebencian.
Dan
kini tiba-tiba saja aku membenci pertemuanku denganmu dulu. Setelah selama ini,
tiba-tiba saja aku menyesali hari di mana cinta datang melaluimu. Aku merutuki
saat-saat mengapa Tuhan mempertemukan kita dan mendekatkan kita. Ya, mengapa
Tuhan membuat skenario kehidupan yang mengharuskan aku menyesali pertemuan kita
dahulu, merutukinya, hingga akhirnya membencimu. Apakah karena cinta diciptakan
memang dengan kebencian? Apakah aku harus membenci dirimu untuk benar-benar
mencintaimu?
Jika memang
begitu jalan ceritanya, aku menyerah. Aku tak ingin mengenalmu, aku tak ingin
mengenal cinta. Aku ingin ‘cinta’ dihapus dari KBBI, hingga seluruh orang di bangsa ini tak mengenal kata cinta.
Aku ingin semua orang celingak-celinguk heran ketika mendengar cinta,
mengernyit memastikan kata apa yang benar-benar dilafalkan, lalu berlalu masa
bodoh karena sedari kecil tak pernah mendengar kata tersebut. Aku ingin cinta
melenyapkan diri dari dunia, atau dunia yang harus melenyapkan cinta. Harus seperti itu, agar tak ada seorangpun
yang pada akhirnya saling membenci.
Aku berjalan
lunglai menghidupkan motor. Kau memintaku untuk menemuimu di alun-alun kota.
Memintaku untuk bicara secara empat mata. Kukatakan padamu bahwa kita tak perlu
bertemu namun kau berikeras. Aku menurutimu. Kurasa sudah kukatakan padamu
dengan jelas melalui ponsel. Aku telah membuat keputusan sebagaimana kau juga
membuat. Keputusan kita sama-sama melukai kita. Namun entah mengapa aku sedikit
menikmati keputusanku. Entah mengapa melihatmu yang cukup tersiksa memberikanku
sebuah sensasi memuaskan.
“Kalau begitu
aku harus menghindarimu, berhenti bicara denganmu, berhenti berkomunikasi
denganmu. Aku rasa kita hanya perlu berkomunikasi seperlunya.” Aku menunggu
responmu dari balik ponsel. Butuh waktu satu menit untukmu menjawab. “Aku in
shaa Allah siap, jika itu maumu dan jika itu yang terbaik.” Tentunya ini bukan yang terbaik, aku
membatin. “Kau tentu sudah tahu mengapa aku harus melakukan ini padamu.” Sekali lagi aku mengingatkanmu. Kau
mafhum mengiyakan. Sungguh, saat itu ku benar-benar berharap kau berteriak
menolak semua keputusanku yang menyesakkan ini. Seperti dahulu, seperti saat
kita masih menjadi keledai yang jatuh berkali-kali di lubang yang sama.
Ya, aku harus
menghindarimu. Aku juga harus mulai meminimalisir temu dan segala urusan
denganmu. Aku harus, mau tak mau. Sebab berada di dekatmu membuatku tak bisa
menahan cinta yang begitu meluap-luapnya. Aku selalu ingin mencubit pipimu,
meremas kepalamu, mengecup jidatmu, memelukmu, mencintaimu. Ketahuilah ini
sayang, lelaki mengekspresikan kasih sayangnya melalui sentuhan fisik. Naluri
lelaki, setidaknya begitulah yang aku rasakan. Jika kau ingin aku berhenti
untuk menyentuhmu, maka aku juga harus berhenti berinteraksi denganmu.
Aku perlu
menciptakan jarak denganmu. Kita perlu menciptakan jarak bila benar-benar tak
ingin terjatuh lagi berkali-kali. Kita hanya harus menciptakan jarak dengan
waktu yang benar-benar lama, entah akan selama apa. Kita hanya harus
menciptakan jarak meski raga kita sebenarnya dekat. Kita hanya harus
menciptakan jarak selama yang kau mau, atau selama yang kumau. Kita hanya harus
menciptakan jarak hingga jarak itu sendiri yang kemudian menempuh dirinya
sendiri hingga saat yang tepat. Bukan begitu yang kau mau, bukan begitu,
sayang?
Akhirnya, genap empat
belas hari kita mencoba menjalani situasi yang canggung. Kita berpapasan namun
hanya saling melirik dan kemudian pergi berlalu. Bahkan ketika dipertemukan
oleh suatu urusanpun, kita seperti menjadi seorang manusia yang kaku. Betapa
ironisnya, dua manusia yang dahulu saling mengasihi dan luwes berinteraksi,
kini seperti dua manusia yang saling enggan mengenal. Maka tak heran kini
kupercayai kalimat-kalimat konyol yang berbunyi, “Jangan ciptakan mantan kalau
tak mau ciptakan setan.” Mungkin bila kita berpisah, kita akan saling menjadi
setan.
Kau akhirnya
mengeluh tak tahan. “Tak bisakah,” katamu mulai terisak, ”tak bisakah kita,
sejenak saja, bicara? Tiga hari sekali,, barangkali, atau seminggu sekali,
a-atau dua minggu sek-sekali, atau beberapa bu-bulan sekali asal kita bicara.
T-t-tak bisakah?” Sungguh, hatiku tertohok-tohok mendengarmu berbicara seperti
itu. Aku seperti menjadi lelaki paling
kejam yang menyakiti kekasihnya. Kau yang
memaksaku, sayang. Kau yang memaksaku. “Tolong, tegarlah. Jika kau cengeng
begini aku jadi takkan bisa berubah. Tak akan bisa, Kau ingin aku berubah kan?”
Aku melihatmu
terduduk di sebuah kursi dengan pandangan yang kosong ke arah lapangan basket.
Aku ikut duduk di sampingmu. Kuamati sekilas wajahmu, kutemukan matamu yang
sembab. Kudengar dari angin dan dedaunan bahwa akhir-akhir ini kau sering menangis.
Sungguh ingin sekali kuseka seluruh air matamu yang terjatuh karenaku.
“Jadi, ada apa?”
Aku memulai.
Kau masih terus
memandangi lapangan basket, empat orang lelaki sedang bermain di sana, namun kutahu
kau tidak benar-benar memandang ke sana. Kau menoleh padaku dan mengatakan hal
yang benar-benar mengejutkanku. Mengejutkanku dengan membuat perasaan yang
campur aduk. Sedih, kesal, puas, bahagia. Kini aku yang memandangi lapangan
basket. Sekilas kulihat salah satu pemain basket memaukkan bolanya, setalah itu
pandanganku kosong, mengembara jauh pada dunia yang luas. Jauh, jauh sekali.
Comments
Post a Comment