Berguyon dengan Mati

Berguyon dengan Mati
               
Urusan kematian siapa yang tahu? Apakah seperti mengurus tetek-bengek belanja bulanan yang bisa diterka-terka? Atau yang lebih amatir lagi, seperti menebak-nebak jawaban Teka-Teki Silang dengan satu atau dua pertiga huruf? Kapan, dimana, lewat siapa kita disambut paksa olehnya. Esokkah, lusakah, pekan depankah, masih lewat lebaran nantikah, atau sedetik nanti setelah kita menua dengan bernafas. Di sela-sela gang kah, di tamankah, di kamar pribadikah, atau mungkin di balik tumpukan-tumpukan sampah dan tak ada orang yang tahu kita melewatkan nafas di situ.  Siapa yang menahu. Akankah kita bertemu dengannya lewat tikaman perampok, atau lewat gemuruh bencana alam, atau mungkin lewat tangan kita sendiri yang ingin bersegera bertamu dengan kematian, menyambutnya dengan mengiris silet di urat nadi secara sukacita. Itu semua bisa saja terjadi. Dan soal itu, siapa yang menahu?

                Lalu, pernahkah kamu mendengar dukun, peramal, dan dokter? Merekalah pawang kematian bagi mereka yang buta, tuli, dan bisu dalam keyakinan. Kau lihat saja aksi si dukun, dengan sesajen-sesajen konyolnya ia bermain dengan kematian sesuka hati. Ia merayu kematian dan mendatangkannya pada seseorang yang ia mau. Tak jauh beda dengan yang dilakukan Tuhan, sungguh hebat. Bayangkan saja, ia komat-kamit membaca rumus yang entah tak mungkin ada di buku manapun, dan sekejap, kematian tunduk padanya. Dan dengan semudah itu pula, kamu bersujud memuja-mujanya.
Lain hal dengan si peramal, tak kalah hebat aksinya. Ia bisa dikatakan adalah manusia yang paling tahu-menahu soal mati, jodoh, karir, dan segala macam cecunguk-cecunguk urusan dunia lainnya. Atau mungkin lebih tepatnya aku sebut si peramal ini, orang yang paling sok tahu dengan itu semua. Berbondong-bondong orang-orang dungu datang padanya, membawa rasa penasaran mereka yang akhirnya dilunasi dengan permainan tebak-menebak masa depan. Sungguh luar biasa, masa depan  diobral dengan mudahnya. Dan dengan semudah itu pula, kamu terpana menyanjung-nyanjungnya.

Dan yang terakhir, mungkin yang paling lebih waras dan masuk akal dari yang sesebelumnya. Kita semua sama-sama tahu dan menyebutnya dengan panggilan ‘Dokter’. Dan dia yang paling didewa-dewakan di antara pawang-pawang kematian yang lain. Dengan seperangkat alat besi, ia mencegah, mengobati, dan bahkan menghakimi mati. Sakit sejenak, kamu datang, memelas minta berbagai resep supaya mati enggan cepat-cepat berkunjung padamu. Lalu dia sendiri bersabda, “Tenang saja, asal kamu banyak uang dan sering-sering periksa kemari, dijamin kamu dijauhi mati.” Dan seketika itu pula, aku dan kamu saling menjatuhkan demi uang, demi nanti bila mati mendekati, kita bisa mengulurnya walau sesaat.


Yang aku pusingkan bukan bagaimana ‘Dokter’ menyiasati mati, atau ‘Dukun’ dengan ribuan mantra dungunya, dan ‘Peramal’ dengan kesoktahuannya yang berlebih. Aku memusingi dirimu yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan mati.

Aku memanggilmu Wira. Berawal dari mimpi dan angan-angan, juga beserta puluhan orang, kita dipertemukan dalam satu kelas. Aku punya mimpi, begitu juga Wira. Kami sama-sama punya mimpi, dan mimpi kami sama. Lulus nanti, kami ingin kuliah, di Kampus idaman orang-orang jenius, kaya, tolol, bahkan melarat. Mulailah kami bersaing, pun pula saling menyemangati. Aku memanas-manasimu agar hasratmu terbakar. Dan kamu meminyaki aku agar tersambar api hasratmu. Kami berjuang, kami melebihkan, demi satu mimpi, kuliah di Kampus idaman.

Awalnya, kami menjadi dekat lantaran waktu itu ada seorang Guru yang masuk. Ia kami juluki Pak Sujiwo. Beliau mengajar seperti biasa, sebagaimana guru-guru mengajar. Dan kami sebagai murid pun seperti biasa, menyimak sebagaimana murid-murid menyimak. Namun setiap akhir materi, ia merapal guyonan-guyonan yang menggelitiki mulut kami hingga tertawa terbahak-bahak. Pak Sujiwo bak peserta acara ‘Stand up Comedy’ yang juara berkali-kali. Mulai dari situ, dipicu guyonan-guyonan Pak Sujiwo, kami sering bercanda dan mengguyoni apa saja yang bisa ditertawakan, kecuali mati.
Kami menyandai Ibu Kantin yang cerewet. Kami menertawakan adik kelas yang lugu. Kami bercanda dengan WC, kelas, Ruang UKS, Kantor Guru, dan tengkorak di Lab.IPA. Kami tertawa dengan beberapa genting-genting dan tangga sekolah. Apa saja kami candakan. Apa saja kami tertawakan. Kecuali satu hal, mati.
**
Ketika itu datang kabar, Pak Sujiwo mati. Sehari sebelum itu, beliau masih mengguyon di kelas. Dan hari itu, setelah membuat kami terbahak keras, ia berhenti. Tampangnya serius. Entah kesurupan Kiai dari Pondok mana, ia tiba-tiba berceramah, “Kalau ingin sukses ya usaha, lalu lanjut dengan berdoa. Tapi berdoa tanpa usaha, itu omong kosong. Dan usaha tanpa berdoa, itu sombong! Kalau punya mimpi ya dikejar, terus usaha melebihi yang lain, dan jangan lupa untuk meminta pada yang Kuasa.” Ia seperti meninggalkan wasiat untuk kami. Petuah sebelum mati, yang harus kami laksanakan jika ingin mimpinya diwujudkan oleh Tuhan.

Semenjak saat itu, Kami tak lagi sering-sering tertawa, apalagi bercanda. Kematian Pak Sujiwo seperti merobek-robek mulut sehingga kami tak bisa tertawa lagi. Guyonan-guyonan ala ‘Stand Up Comedy’ milik Pak Sujiwo ikut terkubur bersama jasadnya. Dan lagi, hari penentuan apakah kami bisa diterima di Kampus idaman semakin dekat. Tak sempat lagi waktu mengajak kami untuk selalu bercanda terus. Kini saatnya serius. Begitu pikir kami, hingga kami memutuskan untuk berhenti mengguyoni semuanya. Apapun, semua tak lagi kami tertawakan.

Namun ada satu hal yang belum kami guyoni. Dan itu kamu utarakan waktu kita di Kantin, sambil menikmati sepiring canda dan segelas tawa. “Kamu tahu, Pak Sujiwo mungkin sedang mengguyoni mati di dalam kuburnya,” kamu tersenyum sinis, kemudian melanjutkan, “aku bosan dengan semua yang pernah kita guyoni. Kenapa tak sesekali kita tiru Pak Sujiwo, ikut mengguyoni mati?”
Aku hanya tertawa kecil menanggapi. Saat itu, kukira kamu hanya mengajakku untuk kembali mengguyon, juga mencairkan ketegangan semenjak Pak Sujiwo mati.

Beberapa hari setelah itu, ujian hampir tiba. Aku berusaha keras, begitu pula denganmu. Kami dihantui petuah Pak Sujiwo. Ingin hasil lebih, ya usaha lebih. Dan kami mati-matian melebihkan. Saat mereka terlelap, kami terjaga. Mereka berjalan, kami berlari. Mereka berlibur, kami bekerja. Mereka waras, kami menggila. Mereka sekedar, kami berlebih.

Saking mati-matiannya berjuang, kamu melupakan tubuhmu yang terbelangkai. Tubuhmu merengek-rengek minta istirahat, tapi kamu malah memaksanya bekerja. Kamu terlalu menyimpan petuah Pak Sujiwo dalam-dalam. Hinggai ia berakar di seluruh tubuhmu. Ia tumbuh di jantung, benak, hati, usus, dan urat-urat. Sampai kamu benar-benar seperti Pak Sujiwo.

Siapa yang tahu bahwa malam ini kamu mati? Seperti rutinitasmu lewat tengah malam, kamu bangun dari kasur, lantas beranjak ke kamar mandi dan menghirup wudhu. Kemudian menggelar sajadah, lalu berdialog dengan Tuhan. Mengadukan satu, dua, atau bahkan puluhan masalah. Mengeluhkan cobaan-cobaan yang bagimu terlalu berat kamu tanggung. Terakhir, kamu memohon, supaya mimpi-mimpi kita diwujudkan. Ah, indah sekali. Tapi sayang, usai melewati rutinitasmu lewat tengah malam, kamu kembali tidur dan tak bangun-bangun lagi.

Aku tidak mengerti. Sejak kapan kamu ada sangkut-pautnya dengan mati. Aku selalu bersamamu. Dan tak pernah tahu kalau-kalau dirimu berniaga dengannya. Kamu jarang mengunjungi dokter, apalagi dukun dan peramal. Lalu apa? Sejak kapan kamu menjalin komunikasi dengan mati?

Mungkin, aku menemukan jawabannya di wajahmu. Dibalut kain kafan, kamu tersenyum menikmati. Seakan inilah puncak dari mimpimu. Dan kamu sudah memimpikannya semenjak Pak Sujiwo mati. Kamu mungkin sedang tertawa-tawa dengan mati. Menyandainya, meledekinya, mengguyoninya. Hingga orang-orang mulai menimbunimu dengan tanah, aku masih mendengar tawamu. Kamu tertawa puas mengguyoni mati.

Untuk sahabatku Wira Satriawan, aku memang belum terlalu mengenalmu, namun izinkan aku mempersembahkan cerpen ini untukmu. Di Surga nanti, jangan lupa dibaca yaa.


Dan mati akan selalu menjadi teman lama yang enggan kita kunjungi.
Serang, 19-Sep-13



                

Comments

Popular Posts