Memilih Pemimpin yang Melek Investasi Literasi
Jelang Juni 2018 nanti,
warga Kota Serang akan memilih pemimpin mereka yang baru untuk lima tahun yang
akan datang. Beberapa bakal calon telah berlomba-lomba meraih simpati
masyarakat melalui bermacam-macam cara. Ada yang blusukan, mengampanyekan program-program yang meyakinkan, membentuk
tim sukses yang kokoh, hingga menebar brosur dan spanduk figur setengah badan dirinya
sendiri yang tersenyum dengan percaya diri.
Saat ini, Walikota Serang masih memiliki sisa amanah
setahun lebih lagi untuk berkontribusi terhadap pembangunan Kota Serang.
Beberapa perubahan terjadi terjadi, atau malah tidak sama sekali. Meski begitu,
Pemerintah Kota (Pemkot) Serang melalui situs web resminya menerbitkan ‘16
Prestasi dan Penghargaan’ yang telah diberikan dan diraih dari Pemerintah Pusat
selama periode 2012-2016, beberapa di antaranya adalah: Penghargaan Peningkatan
Beras Di atas 5% tahun 2012, Penghargaan Komitmen
dan Keberhasilan Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Penerapan KTP Tahun 2012,
Penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup BLHD (Badan Lingkungan Hidup
Daerah) Program Langit Biru Juara Satu Tingkat Nasioal untuk Kategori Kota
Kecil / Sedang di Indonesia Mengenai Program Gas Emisi Tahun 2013,
Penghargaan Apresiasi Pendidikan Islam (API) Tahun 2014, Penghargaan
Langit Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015 Tentang
Hasil Penilaian Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan, dan beberapa
penghargaan juga prestasi lainnya yang bisa diakses melalui laman resmi daring
Pemerintah Kota Serang.
Gambar Ilustrasi
Walikota Serang boleh saja merasa puas mendapatkan
berbagai macam prestasi dan mengaku bangga dengan hasil kinerjanya, namun
tetap, pengakuan sesungguhnya berasal dari masyarakat. Tolak ukur penghargaan
sesungguhnya seorang pemimpin dalam memimpin sebuah kota atau daerah adalah
kepuasan masyarakat. Apakah dari penghargaan-penghargaan yang telah diraih
tersebut, warga Kota Serang merangkak naik pada kesejahteraan? Nyatanya, terdapat
terlalu banyak keluhan dan kritik dari masyarakat Kota Serang dari berbagai
kalangan. Kemacetan, angka pengangguran yang meningkat, pembangunan yang tidak
tepat sasaran, korupsi, pendidikan, kemiskinan, biaya hidup yang tinggi, dan
yang lain-lainnya.
Pada pilkada 2018 nanti, warga Kota Serang tentunya tidak
ingin lagi terjatuh pada lubang yang sama perihal memilih pemimpin. Terjatuh di
lubang yang sama hanyalah pekerjaan keledai. Kita sebagai manusia yang dikaruniai
akal pastinya mampu mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang terjadi, apakah jalan
ini harus dihindari, ataukah tetap dilalui. Untuk itu, memilih pemimpin yang
peka dan insaf pada lubang-lubang yang telah dilalui pemimpin sebelumnya
merupakan solusi untuk warga Kota Serang. Dan yang lebih penting lagi, memilih
pemimipin yang mengerti akar dari mayoritas masalah yang ada adalah pilihan
yang benar-benar tepat.
Memahami
Akar Masalah Yang Dominan
Masalah memang akan selalu ada. Seperti yang dikatakan John Green pada bukunya An Abundance of Katherines, “Kau tahu
apa itu masalah? Masalah itu seperti kau yang tidak bisa hidup dengan gagasan
seseorang yang mungkin akan pergi meninggalkanmu.” Telah menjadi hukum alam
bahwa masalah tidak akan serta merta hilang begitu saja. Saat kita
mengatasinya, masalah yang lain timbul. Jika dianalogikan, masalah terasa
seperti jerawat, dipencet agar hilang, tapi malah timbul di bagian yang lain. Lalu,
bagaimana mengatasi problematika kota tercinta kita jika hukum alam telah membakukan
diri seperti itu?
Pertama, kita perlu memahami terlebih dahulu darimana
sesungguhnya akar berbagai permasalahan ini datang. Apakah kemiskinan,
infrastruktur, lapangan pekerjaan, kriminal, korupsi, moral, atau pendidikan? Jika
dipikir-pikir, setiap masalah ini memiliki akarnya sendiri-sendiri, namun bukan
berarti akar-akar ini tidak saling berhubungan. Beberapa masalah tersebut
memiliki akar yang sama. Akar yang jika kita telah sadar bagaimana pola
tumbuhnya, kita bisa mencabutnya perlahan-lahan.
Masih ingat
perhelatan kontestasi Pilkada Gubernur Jakarta pada beberapa bulan yang lalu?
Pilkada ini digadang-gadang sebagai pilkada dengan rasa Pilpres. Semua media
menyoroti setiap detail pilkada ini. Banyak kepentingan politik yang konon
dipertaruhkan pada ‘ajang’ ini. Tapi saat ini bukan hikayat-hikayat sensasional
dalam pilkada ini yang akan didiskusikan. Pemenang pilkada tersebut, Anies
Baswedan dan Sandiaga Uno, merumuskan jargon ‘Maju Kotanya, Bahagia Warganya’,
yang menjadi andalan di pilkada sekaligus visi mereka dalam membangun Jakarta. Dari
sebuah diskusi santai, Anies dan kawan-kawan ini menagkap kegelisahan yang
terjadi di Jakarta. Mereka melihat geliat infrastruktur Jakarta yang
signifikan, tapi tidak dengan manusianya alias warganya. Warganya tertinggal
jauh dari gedung-gedungnya yang semakin tumbuh.
Secara tidak langsung, rencana mantan menteri pendidikan
dan kebudayaan itu menjurus pada peningkatkan dan pengoptimalan sumber daya
manusianya. Manusia menjadi aset utamanya dalam membangun Jakarta lima tahun ke
depan. Langkah ini merupakan langkah yang tepat, mengingat beberapa faktor
masalah di Jakarta sebenarnya bisa diatasi dengan berinvestasi pada sektor
pendidikan dan keterampilan, baik itu formal maupun non formal. Salah satu
contoh gamblangya, program Oke Oce (One
Kecamatan, One Center Entrepreneurship) yang digagas Anies dan Sandiaga
mewakili sektor pendidikan non formal sebagai salah satu langkah dalam
mengentaskan angka pengangguran dan kemiskinan. Dua masalah teratasi dengan
satu gagasan.
Di lain sisi, ada sebuah poin yang krusial di gagasan ini
yang cenderung dilupakan. Dalam sebuah pembangunan daerah, infrastruktur yang
baik sangat dibutuhkan untuk menunjang laju ekosistem sosial dan perekonomian.
Hal ini berimbas pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Namun sebaik
apapun sebuah infrastruktur dan fasilitas belum akan berjalan optimal jika
warganya tidak mampu menjaga dan merawatnya. Jika tidak diimbangi dengan
kesadaran warga akan penjagaan dan perawatan maka hal itu sia-sia. Kita ingin
memiliki infrastruktur yang terjaga dan terawat sehingga bisa digunakan selama
mungkin. Dengan kesadaran tersebut, kita bisa menghemat anggaran-anggaran yang
semestinya tidak perlu dikeluarkan untuk perbaikan terlalu dini. Sebuah
kesadaran rasa memiliki, menjaga dan merawat itu bisa didapat melaui sektor
pendidikan.
Sektor pendidikan ini juga dapat mencegah angka kriminal
hingga sikap intoleran yang dihasilkan oleh maraknya pemberitaan-pemberitaan hoaks saat ini. Jangan salah, jika
gara-gara berita hoaks, seseorang
habis dipukuli warga karena diduga sebagai sindikat penculik anak. Jangan kaget
juga, gara-gara berita hoaks, persaudaraan
antar suku yang telah terbangun kembali, terpecah-pecah lagi tiada henti. Dengan
memprioritaskan sektor pendidikan, hal-hal yang tidak diinginkan ini bukan lagi
bisa dicegah, tapi juga dihentikan.
Jika diambil kesimpulan dari beberapa kasus di atas, maka
akar dari permasalahan-permasalahan yang umumnya terjadi pada sebuah daerah ini
berawal dari manusianya. Apabila ditelaah secara induksi, semuanya bermula dari
tingkat kualitas pendidikan baik itu formal maupun non formal yang minim.
Kualitas sumber daya manusia kita masih rendah. Sehingga jangan heran, jika
masalah demi masalah yang sama kembali terjadi dan pemerintah melakukan
pekerjaan yang sama berkali-kali.
Akar masalah dominan yang dihadapi Jakarta dan Kota
Serang sebenarnya tidak jauh berbeda. Manusia-manusia dengan kualitas
pendidikan yang rendah akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang
sebenarnya dapat dihindari. Dengan meningkatkan kualitas pendidikan manusianya,
kesejahteraan dan kemajuan suatu daerah bukanlah hal yang tidak mungkin. Lalu,
pendidikan yang bagaimana yang tepat untuk Kota Serang?
Investasi
Budaya Literasi
Pendidikan juga
tidak sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada secara
tepat. Apalagi dengan catatan, sistem pendidikan yang dipakai adalah sistem
yang masih konvensional. Pendidikan tidak dapat membantu mengatasi akar-akar
masalah sebuah daerah, jika sistemnya masih belum menyadari apa yang sebenarnya
tengah genting untuk dieksekusi saat ini. Beberapa pakar dan pemerhati
pendidikan masih selalu mengemukakan hal yang sama secara garis besar dari
tahun ke tahun; soal biaya sekolah dan fasilitas sekolah yang belum memadai di
sejumlah pelosok daerah. Hal ini tidaklah salah, namun semua hal tersebut
masihlah belum menyentuh pendidikan yang benar-benar dibutuhkan untuk kita saat
ini.
Berdasarkan studi "Most Littered Nation
In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada
2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal
minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas
Bostwana (61). Menurut data dari UNESCO, minat baca Indonesia adalah 0,001%,
yang berarti dari 1000 orang, hanya satu orang yang rajin membaca. Angka
minat baca ini merepresentasikan urgensi yang mesti disentuh dan dijangkau oleh
sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita harus lebih dulu menjangkau
problem-problem fundamental. Membaca adalah fondasi keilmuan dari dunia
pendidikan. Bagaimana esensi dari target pendidikan bisa dicapai, jika hal-hal fondasinya
tidak tersentuh?
Bicara soal
minat baca, secara langsung kita membicarakan soal literasi. Literasi menurut National Institute for Literacy adalah
kemampuan individu
untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada
tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan
masyarakat." Membaca berarti termasuk salah satu kegiatan dari
literasi. Membaca juga menjadi pokok dalam dunia literasi.
Luasnya
makna literasi ini bahkan mencakup dalam berbagai dimensi kehidupan. Beberapa
dimensi ini saling berkaitan, di antaranya adalah dimensi geografis, dimensi
bidang, dimensi keterampilan, dimensi fungsi, dimensi media, dan dimensi
bangsa. Ketujuh dimensi ini menunjukkan betapa pentingnya literasi dalam
kehidupan.
Meski data-data tadi menggambarkan kondisi nasional, angka
0,001% dirasa cukup menggambarkan kondisi warga Kota Serang juga. Berbagai
macam krisis moral, kemiskinan, kemacetan, kejahatan, putus sekolah, dan
pengangguran yang terjadi di Kota Serang berawal dari fakta minat baca
masyarakat yang rendah. Dengan meningkatkan minat baca, maka kemampuan literasi
seseorang juga akan meningkat. Denga bekal literasi yang tinggi, masyarakat
Kota Serang dengan sendirinya akan mulai mengatasi masalah-masalah di
sekitarnya secara swadaya hingga terwujudlah harapan Kota Serang madani
sebagaimana yang dicita-citakan.
Fakta bahwa literasi memberikan dampak perubahan positif
yang masif perlu diterapkan pada seluruh warga Kota Serang setiap saat hingga
membudaya. Bayangkan, jika ‘budaya’ ini telah berjalan di Kota Serang. Berbagai
macam profesi yang identik jauh dengan buku kemudian gemar membaca. Pedagang
asongan, tukang ojek, tukang becak, buruh, atau kuli yang gemar membaca.
Berbagai macam sosialisasi yang biasa dilakukan pemerintah ke depannya akan
lebih mudah. Masyarakat yang telah melekat dengan ‘budaya’ ini akan dengan
sendirinya menemukan solusi atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di
sekitarnya.
Sayangnya, Pemerintah Kota Serang belum melek terhadap
krusialnya budaya literasi ini. Hal ini tercerminkan dalam APBD Kota Serang
Tahun 2016. Baik pada anggaran langsung dan tidak langsung terserap lebih besar
pada belanja pegawai. Anggaran belanja hibah dan bantuan sosial yang mungkin
bisa menopang kegiatan literasi hanya sebesar 1,88% dari total anggaran. Itu pun
akan terbagi-bagi lagi porsinya dengan sektor yang lain. Hal ini jelas
menggambarkan Pemerintah Kota Serang kini belum menyadari prioritas budaya
literasi yang segera harus dibangun. Pemerintah Kota Serang belum melek untuk
berinvestasi pada literasi.
Realisasi
Budaya Literasi
Data minimnya angka minat baca ini masih belum sepenuhnya
benar. Hal ini dikritisi oleh artikel Marlistiya Citaningrum: ‘Kata Siapa Minat
Baca Indonesia Rendah’. Artikel ini dilatar belakangi oleh kegelisahannya
melihat ‘ramainya’ pengunjung pameran buku akbar Big Bad Wolf yang diselenggarakan di Jakarta. Studi mengenai minat baca
tersebut bertajuk “World’s Most Literate Nation”. “Literate” sendiri secara
tunggal berarti melek huruf atau bisa membaca (dan menulis). Jika dilihat dari
judulnya saja, ini tidak menyinggung soal minat baca, karena bisa membaca tak
lantas menyiratkan kesukaan (minat) membaca. Sementara itu, variabel yang
digunakan pada studi ini adalah pencapaian literasi (kemampuan baca) dan
variabel yang mewakili contoh-contoh perilaku membaca (literasi). Variabel yang
mereka gunakan dikelompokkan tersendiri, dan datanya diambil dari data-data
yang tersedia secara publik, misalnya dari UNESCO dan PBB. Jadi mereka tidak
mengadakan survei menanyakan pada berapa responden mengenai minat baca. Mereka
mengelompokkan variabel tersebut dalam 5 kategori: Perpustakaan, Koran, Sistem
Pendidikan – Input, Sistem Pendidikan – Keluaran, dan Ketersediaan Komputer. Fakta
ini kemudian bisa menarik kesimpulan pada budaya literasi Indonesia yang memang
rendah atau cukup. Untuk diposisikan ‘tinggi’ nampaknya belum.
Dari
artikel tersebut, sebuah diskusi pro-kontra antar netizen di kolom komentar menggiring pada hasil bahwa kurang
tersedianya fasilitas-fasilitas yang menunjang kegiatan dan budaya literasi
inilah barangkali ujung dari rendahnya angka minat baca. Kota Serang memang
memiliki perpustakaan dan taman baca yang sedikit. Satu Perpustakaan Kota dan
satu Perpustakaan Provinsi yang kebetulan ada di Kota Serang. Namun keduanya
terletak di pusat kota. Taman baca juga tidak tersebar secara merata di setiap
desa atau perumahan di Kota Serang.
Meskipun minim fasilitas, akhir-akhir ini literasi cukup
bergeliat akibat aktivis-aktivis literasi yang dengan kreatifitasnya mengajak
dan merangsang minat baca warga Kota Serang. Salah satunya adalah ‘Motor
Literasi’, dengan mengendarai motor dan menggelar alas yang kemudian diisi
buku-buku, aktivis-aktivis ini berkeliling dari suatu tempat ke tempat yang
lain.
Kesadaran
dan peran pemerintah sangat dibutuhkan di sini karena dengan mengandalkan para
aktivis-aktivis literasi ini saja tidaklah cukup. Kota Serang membutuhkan
tenaga dan biaya yang besar untuk merealisasikan budaya literasi ini. Pemerintah
bisa memulai satu langkah sederhana dengan meniru apa yang dilakukan oleh Little Free Library di Wiconsin.
Perusahaan non-profit ini membuat semacam box
library atau perpustakaan kotak mini pada tiap sudut-sudut keramaian. Ide sebuah
kotak diisi dengan buku-buku dan dipadu dengan dekorasi yang cantik mendapat
antusias dan meningkatkan minat baca warga sekitar. Pemerintah bisa
merealisasikannya dengan membuat kotak-kotak serupa pada tiap RT (Rukun
Tetangga) di Kota Serang. Langkah sederhana selanjutnya adalah dengan memberikan
pelajaran membaca intensif pada masyarakat yang masih buta huruf yang
didominasi oleh laki-laki dan perempuan usia 40 ke atas. Dengan dua langkah
sederhana ini, realisasi budaya literasi menjadi hal sangat mungkin dilakukan.
Calon
pemimpin Kota Serang selanjutnya dan juga warganya harus memahami betapa
urgensinya berinvestasi literasi. Warga juga memiliki andil dalam menetukan
kemajuan atau kemunduran daerahnya selama lima tahun ke depan. Untuk itu, warga
juga harus mulai sadar dan secara teliti mengamati profi dan program
calon-calon yang akan hadir pada Pilkada Kota Serang mendatang. Saatnya memilih
pemimpin yang mengerti akar dari masalah-masalah yang selalu terjadi. Saatnya
memilih pemimpin yang melek untuk berinvestasi literasi.
Sumber
Data:
Masalah pendidikan, kemiskinan, biaya hidup tinggi, pembangunan Kota Serang yang tidak tepat sasaran
Comments
Post a Comment