Bank Bencana
BANK
BENCANA
Sanjaya,
lelaki yang dijuluki mahasiswa gila oleh masyarakat tempat tinggalnya kini,
tengah menjabarkan ide gilanya padaku di warung makan Uni Shafa. Menurutku, idenya tidak gila. Menurutku, ini ide yang
brilian, kreatif, dan inovatif. Sebuah ide yang sungguh jenaka dan bernilai
kritis. Tapi apalah daya, terkadang masyarakat tertentu punya hobi yang
terlampau buruk: menjelek-jelekkan orang.
Saat
kukatakan aku mendukungnya, ia melebarkan senyumnya dan berkata pada Uni Shafa, “Tambahkan porsi nasi temanku
ini, ni.” Uni Shafa menyiapkan
sepiring nasi lagi untukku. Kemudian Sanjaya melanjutkan presentasi idenya.
Kali ini soal bagaimana idenya nanti akan berjalan dan beroperasi. Kukatakan
padanya untuk melibatkan aku dalam idenya. Senyumnya kembali menyungging.
Dengan gigi yang berseri-seri, ia berkata lagi, “Ambil apapun yang kau mau di
sini bro, semua untukmu gratis. Tapi
tetap jaga porsi makanmu agar perutmu tak setambun pejabat, haha.”
Sanjaya
bukanlah seorang aktivis di kampusnya. Ia hanya seorang mahasiswa kutu buku
dan seorang mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang,
kuliah-pulang. Namun ide yang ia cetuskan ini layaknya seorang aktivis yang
sudah khatam persoalan-persoalan sekitar. Sepertinya ia selalu rajin memantau
persoalan-persoalan yang kerap terjadi pada bangsanya. Mungkin juga seperti
itu, melihat kesukaannya pada membaca. Aku malah menyarankan untuk para aktivis
kampus agar sepertinya. Karena akhir-akhir ini, banyak aktivis yang lahir dari
generasi yang malas membaca. Membaca adalah sebuah perenungan untuk menemukan
jawaban. Tapi nampaknya para aktivis ini
lebih hobi berkoar-koar dan bertindak anarkis ketimbang membaca selembar dua
lembar kertas. Bagi mereka yang penting demo, solusi dari semua permasalahan.
Tapi bagaimana mau menyelesaikan permasalahan kalau membacanya saja malas?
Ngomong-ngomong
soal ide apa gerangan yang ia pikirkan, sudahkah kuberitahukan padamu? (Ah,
ternyata belum) Biar kini kujelaskan padamu detail ide yang ia jabarkan padaku
sambil membayari semua makananku di warung makan Uni Shafa.
“Aku ingin
mendirikan sebuah bank, bro.” Bisik Sanjaya di depan mukaku dengan logat
Padang kental yang berusaha menyesuaikan zaman.
“Bank apa?” Aku
bertanya dengan menebak sendiri jawabannya. Lazimnya, jenis bank kontemporer
hanya dua, konvensional atau syariah. Kuduga jawabannya tak jauh dari dua jenis
ini.
“Bank Bencana, bro.” Jawabnya dengan senyum
berbinar-binar. Dugaanku melenceng jauh.
Pertama kali aku mendengarnya,
kukira ini hanya guyonan belaka. Kukira ia hanya sekedar bercanda, sekedar
mencairkan suasana, atau sekedar mencari bahan obrolan. Karena hal itu
terdengar sangat lucu bagiku. Namun ketika kudengar ia menjelaskan konsep, sistem,
nasabah, modal, kredit, hingga urusan birokrasi pendiriannya, aku menyimpulkan
ia tidak sedang bercanda. Apalagi setelah mendengarnya berpidato perihal latar
belakang idenya ini, aku tahu ini benar-benar serius.
Sesuai namanya, Bank Bencana ini benar-benar
akan menjadi lembaga intermediasi yang mengelola simpan-pinjam bencana.
Bencananya –mungkin kita bisa menyebutnya juga jenis tabungan atau rekeningnya-
macam-macam: banjir, longsor, kabut asap, pemanasan global, dan lain-lain. Untuk
membuka rekening banjir misalnya, nasabah meski membuang sampah sembarangan
sebanyak minimal 10 kilogram. Semakin banyak, semakin baik dan semakin memenuhi
syarat untuk membuka rekening tersebut. Sementara untuk membuka rekening kabut
asap, cukup dengan membakar dua hektar lahan gambut.
Aku tahu kau akan mengatakan
atau menuding Sanjaya gila. Mungkin inilah penyebab mengapa akhir-akhir ini ia
dijuluki mahasiswa gila oleh masyarakat kampungnya. Bagi orang awam,
pemikiranya ini sungguh gila dan keji. Sungguh teganya seorang manusia merencanakan
sebuah bencana dengan terorganisir. Bila ide ini ia jabarkan pada salah satu
anggota ormas keagamaan yang ofensif, kuduga mungkin ia sudah diserapahi
kutukan dan adzab Tuhan.
Lantas kenapa aku ingin terlibat
pada kegilaan yang mungkin akan membawa semua orang pada malapetaka ini? Di
samping permohonan Sanjaya kepadaku mungkin yang ingin menjadikanku sebagai
manajer akuntansinya di bank ini, aku menangkap pesan tersirat bahwa sebenarnya
bank ini didirikan untuk mengkritisi perilaku orang-orang yang terlalu masa
bodoh dengan lingkungannya. Maka aku mendukungnya dan melibatkan diriku di
dalamnya.
Kini, aku lebih sering bertemu
dengannya setiap hari di kampus. Ia yang biasanya pulang selepas kuliah, kini lebih
sering berlama-lama di kampus. Kadang ia mampir ke kelasku, kadang juga aku
yang mampir ke kelasnya. Sanjaya adalah seorang mahasiswa berprodi pendidikan
bahasa Inggris, -yang lucunya- apabila dikaitkan dengan idenya saat ini,
benar-benar melenceng jauh. Seorang calon guru yang memikirkan lingkungan.
Kukatakan padanya, mengapa ia repot-repot ingin mendirikan bank ini dan ia
menjawab dengan senyum yang sama ketika ia mentraktirku di warung makan Uni Sahafa, “Bro, seorang guru juga bisa
jadi pemerhati lingkungan.”
Untuk membuktikan bahwa ia
benar-benar serius pada idenya, ia merekrut beberapa karyawan. Ditempelinya
brosur pada jendela-jendela kelas kampus, ruang dosen, tembok kamar mandi,
tempat parkir, hingga tempat periklanan yang strategis namun gratis yang
berjajar di mana-mana –tiang listrik. DICARI-KARYAWAN UNTUK BANK BENCANA.
Berbagai macam posisi tercantum pada brosur tersebut: Manager, Accounting,
Administration, Security, Office Boy, dan segala maca posisi lazimnya yang
dibutuhkan sebuah bank. Tidak hanya memedulikan lingkungan, bahkan ia juga
membuka lapangan pekerjaan.
Sudah empat bulan berlalu semenjak Sanjaya
mengajakku terlibat dengan idenya. Bulan pertama, kami merancang ide dan
konsep. Bulan kedua, kami mengumpulkan berkas-berkas dan juga dokumen-dokumen
yang dibutuhkan sebagai syarat berdiri. Bulan ketiga, kami merekrut para
karyawan. Dan sekarang, beranjak pada bulan keempat, ia mengatakan padaku bahwa
ia akan mencari para investor.
Apa-apaan dengan investor ini !? Aku terkejut mendengar rencananya
yang ingin merangkul lima belas investor. Aku mengira Bank Bencana ini adalah
lembaga non-profit yang bergerak dalam menjaga lingkungan dan alam. NON PROFIT!
Jika memang kekurangan dana kita bisa mencari donatur, saya yakin, mendengar
tujuan mulia dari Bank ini para saudagar-saudagar dermawan nan tajir pasti
antusias dan membantu. Memberikan beberapa recehnya
yang jutaan rupiah bukanlah hal yang besar. Mengapa harus investor?
Aku mencoba untuk tetap
berparasangka baik. Kusimpan keresahanku dalam-dalam. Mungkin ia mempunyai motif
mulia tersendiri yang tak diberitahukannya padaku. Pantang bagiku berpikiran
buruk tentangnya sebab kuingat selalu cita-cita mulianya mendirikan Bank ini:
agar semua manusia di bangsanya sadar bahwa tak perlulah mereka semua repot-repot
untuk merawat alam, tidak membuatnya berantakan saja sudah cukup. Karena tak
ingin menambah beban pikirnya, maka kusimpan rapat-rapat keresahanku.
***
Hanya
dalam lima bulan, kami sudah siap untuk membuka Bank Bencana ini. Menurutku,
untuk mendirikan sebuah perusahaan sekelas Perseroan
Terbatas, lima bulan adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Dulu,
pamanku saja baru bisa mendirikan perusahaannya dalam jangka waktu setahun
lebih. Urusan birokrasi yang berbelit-belit dan dana yang terbataslah yang
membuatnya lama. Melihat hal ini, terlepas dari prasangkaku padanya, aku makin
takzim pada Sanjaya. Ia adalah pekerja keras dan gigih. Selain itu, kepiawaiannya dalam
bernegoisasi, mengajak dan memengaruhi orang juga termasuk keahliannya.
“Akhirnya
tiba juga hari kemenangan kita, bro.” Katanya tersenyum padaku dan menjabat
tanganku. Kami duduk di sebuah kursi impor empuk bersama lima belas investor
lain. Mereka semua juga tersenyum-senyum, namun lebih lebar dari senyuman
Sanjaya. Hal ini malah membuatku ngeri. Orang-orang yang tadinya sempat
menuding Sanjaya tak waras pun duduk di belakang kami dengan wajah yang
manis-manis juga. Padahal beberapa bulan yang lalu, mereka adalah orang-orang
yang paling tak menyetujui berdirinya perusahaan ini. Sebagian dari mereka
memandang rendah perusahaan yang ingin kami dirikan ini, sebagian dari mereka
mengkritik bahkan tak ayal menghujat. Tapi kini, tiada kutemukan sedikitpun
sisa kebencian di wajah mereka. Semuanya tergantikan oleh wajah penuh
keceriaan.
Kengerian
dan kebingunganku akan apa yang telah Sanjaya lakukan terhadap mereka terus
berpurat-putar di kepalaku hingga beberapa menit sebelum peresmian yang akan
dilakukan olehnya, Sanjaya berbicara padaku,
“Aku
tahu kau pasti menyimpan banyak tanya padaku, bro.”
“Namun sebelum aku menjawab semua
pertanyaanmu, kau harus tahu bahwa tujuan mulia yang kuberitahukan padamu dulu
hingga kini belum berubah sama sekali.”
“Sebagaimana
kuberitahukan di awal bro, aku ingin
menciptakan sebuah ekosistem bencana yang berjalan dengan terorganisir hingga
seluruh manusia sadar bahwa kita semua adalah benalu di bumi yang indah ini.
Kita akan mengelola bencana yang disetor dan bencana yang dipinjam dari
nasabah-nasabah kita. Bencana ini pastinya nanti akan dimanfaatkan manusia
untuk menyerang orang-orang yang dibencinya. Dan orang-orang yang diserang
bencana ini akan mendendam, mereka kemudian akan meminjam bencana untuk
menyerang mereka yang telah menyerangnya. Begitu seterusnya hingga alam yang
mereka tempati hancur lebur dan barulah mereka sadar. Atau barangkali mereka
semua sudah habis duluan dihantam berbagai bencana sebelum mereka sadar.”
“Sementara
investor-investor yang kugandeng ini adalah pengusaha-pengusaha besar yang
bergerak di dalam industri makanan, minuman, pakaian, dan bahan-bahan bangunan.
Semuanya adalah materi yang kita butuhkan pasca bencana terjadi. Ya, kau bisa
menebak sendiri mengapa mereka tak ragu untuk berinvestasi pada bank ini. Aku
tidak terlalu peduli pada jumlah angka di buku tabungan mereka yang semakin
bertambah, bro. Meski yah, uang mereka benar-benar membantu kita memperlancar
segala urusan termasuk memberesi orang-orang yang dulu suka nyinyir sama kita.
Yah, cepat atau lambat mereka semua juga akan tersapu oleh bencana yang akan
ada di mana-mana ini.”
“Dan
kita, kita akan menjadi martir mulia yang berkorban untuk alamnya yang tercinta
ini, bro. Kita adalah dua bocah mahasiswa yang diutus menjadi nabi untuk
menyudahi kejahilan manusia pada alam. Kau masih tetap mendukungku kan, bro?”
Aku
mengiyakan. Syukurlah, ternyata tujuan mulianya tidak berubah.
Sanjaya
melangkah ke atas panggung untuk meresmikan Bank Bencana. Ia megambil sebuah
obor dengan api yang sudah menyala dan membakar sebuah ranting yang berdaun
lebat sebagai simbol peresmian.
“Dengan
ini, Bank Bencana resmi saya buka.”
Semua
bertepuk tangan kencang. Di antara mereka semua, tepuk tanganku adalah yang
paling kencang.
Serang, 24-10-2016
Comments
Post a Comment