PERPISAHAN (1)
PERPISAHAN
(1)
Perpisahan adalah kata yang paling
tabu pada hubungan kami. Aku tak akan pernah mengucapkannya; begitupun dirinya.
Kata itu begitu menakutkan bagi kami. Kami bahkan merasa seperti menjadi dua
orang penderita fobia-perpisahan. Kami akan mengalami gejala seperti sesak
napas, keringat dingin, kegelesihan dan kepanikan tiada tara begitu mendengar
atau mengucap kata tersebut: perpisahan. Agak berlebihan memang, tapi inilah yang terjadi.
Kami
terlalu lemah dan takut untuk membayangkan sebuah perpisahan. Tak satupun dari
kami mampu dan berani untuk melaluinya. Tak satupun. Bahkan aku sendiri –bila
boleh sedikit sombong, adalah seorang lelaki yang selau tegar menghadapi segala
hal- akan jatuh terkulai lemas menghadapi sosok mengerikan yang menamai dirinya
perpisahan. Perpisahan akan menorehkan luka yang lebih menyayat daripada yang
ditorehkan pisau, luka yang lebih menyakitkan dibanding peluru yang menembus
kencang daging. Setidaknya, begitulah yang kami rasakan tiap mulai
membayangkannya.
Seperti pada
suatu malam yang
lelap, pada sebuah perbincangan panjang di telepon, kami telah membahas banyak hal. Makanan,
teman-teman, tugas kampus yang menumpuk, dosen kami yang menyebalkan, bisnis,
lelucon, dan apapun. Hal yang tak pernah luput dan selalu semangat kami
bicarakan adalah masa depan, masa depan yang gemilang tentunya. Melanjutkan
pendidikan di luar negeri, karir, seberapa besar rumah kami, berapa banyak anak
yang kami miliki, cita-citaku untuk mendirikan rumah berbagi, cita-citamu untuk
menjadi ibu-ibu sosialita, hingga hal-hal konyol seperti berapa kali aku akan
mencium pipimu dalam sehari apabila kita telah serumah nanti. Minimal, kami
akan bercakap-cakap panjang selama satu jam hingga peringatan dari operator
sendiri yang mematikan teleponnya. Percakapan-percakapan sederhana yang selalu berkesan.
Namun
semua hal yang mengasyikkan itu akan terhenti pada kata perpisahan. Meski tak
sengaja kami ucapkan dan ingin segera kami lupakan, kata-kata itu terlanjur
terngiang-iang di kepala. “Bagaimana bila kita berpisah?” Biasanya dia akan
lebih dulu memulai bertanya. Aku tak menjawab. Dia juga tak menuntut jawaban.
Terlihat bahwa kami sama-sama mengerti dengan baik makna dan akibat dari
perpisahan. Aku membayangkan hal ini seperti kami menghancurkan sendiri
mimpi-mimpi indah yang telah kami bangun dengan hati-hati. Namun kami telah
saling mengerti dan dewasa, bahwa apapun yang terjadi, kami harus siap
menghadapinya. Kami terdiam beberapa saat, hingga aku nyeletuk,
“Pokoknya aku ga mau sama yang lain
kalau ga sama kamu.”
Sehebat
apapun kami berencana, masa depan selalu memberikan kejutan. Entah itu kejutan
yang menyenangkan atau menyedihkan. Aku menangis ketika kami saling bercakap
via pesan telepon. Dia memutuskan sebuah perpisahan. Aku menolak. Dia pun
sebenarnya menolak. Dia memberikan alasan. Aku pun memafhumi alasannya. Dia
bersikeras bahwa ini jalan yang terbaik; aku bersikeras bahwa masih ada jalan
yang lain. Aku sudah tak membalas lagi pesan terakhirnya. Aku menatap
langit-langit kamarku dan berusaha menahan air mataku yang menetes meski tidak
banyak. Aku baru tahu bahwa ternyata seorang lelaki yang tak terlalu menyimpan
banyak emosi ini juga bisa menangis karna satu hal: perpisahan.
Comments
Post a Comment