KODRAT
KODRAT
Oleh: Solida FirjaTullah
Lagi, lagi, lagi, dan lagi. Lagi-lagi tatapannya
mebuatku mati. Tapi jangan terburu-buru mengartikan mati di sini secara
tekstual. Mati di sini bukan berarti detak jantungku berhenti, atau organ-organ
tubuhku sudah tak berfungsi. Melainkan ketika ia menatapku, seluruh dunia
terasa berhenti, seluruh perasaan yang sulit dijabarkan terpatri pada
sendi-sendi, dan aku mati.
Tadi hanya beberapa
perasaan konyol yang munucul ketika ia menatapku. Aku mencoba menyebutnya
konyol. Karena aku belum pernah merasakannya sama sekali, dan ini aneh, maka
kusebut konyol. Aku mencoba berdamai dengan perasaan konyol ini, namun apalah
daya, aku tidak mengerti, kekonyolan ini semakin menjadi-jadi.
“RAHMI HIDAYATI!”
Aku tersentak dari
lamunan konyolku. Ah, namaku dipanggil, kelompok berapa aku? Aku
celingak-celinguk, mencoba mencari-cari jawaban pada teman-temanku yang
seluruhnya berpakaian rancu, termasuk aku. Topi dari karton yang dibentuk
segitiga, karton yang tertulis nama sendiri besar-besar yang digantungkan di
leher, baju putih, celana pantalon hitam, dan sepatu yang talinya diikat dengan
tali rafia.
“Kamu kelompok empat, mi, denganku.”
Seorang perempuan manis di tengah puluhan perempuan
lainnya yang berpakaian sama menyadari kebingunganku dan memberitahu.
“Ah, terimakasih. Aku melamun tadi, hehe. Oh iya,
namamu siapa?”
“Aku Karsih.”
Dan kami berkenalan. Lalu langsung ngobrol
ngalur-ngidul layaknya dua teman yang sudah lama tak bertemu. Perempuan memang
cepat akrab.
“Lihat, mi. Aku mencatat nama teman-teman kita
sekelompok.”
MOS 2014
(Masa Orientasi Siswa)
SMA 1 NEGERI SERANG
KELOMPOK 4
Tio Riyono
Mohammad Agoes
Galih Sukma
TB Noer Iman
Wira Satriawan
Rahmi Hidayati
Karsih
Nada Zhafira
Angelica Khazanatullah
“Ah, kamu rajin betul sih, pakai dicatat segala.”
Aku memujinya sambil coba menerka-nerka, seperti apa
wajah calon orang-orang yang bakal kutemui nanti dari nama mereka. Sejenak aku
berharap-harap tolol, semoga namanya ada dalam nama-nama yang ditulis Karsih.
Ya, pria -entah siapa namanya- yang tatapannya mampu membekukan waktu dan
segala hal yang sedang terjadi. Tapi itu hanya harapan tolol dari sekian harapa
tolol lainnya yang kubuat. Jadi, tak mungkin. Hei lagipula, untuk apa aku
berharap hal demikian?
Aku bersama Karsih pergi ke lantai dua untuk berkumpul
dengan kelompok kami, kelompok empat. Sesampai di atas, buru-buru aku menepi
pada pagar dan langsung melihat keadaan di bawah. Haha, terlihat
menggelikan. Semua orang berpakaian sama, pakaian aneh, narsis, dan
rancu. Terkecuali beberapa orang, senior-seniorku. Terlihat begitu mencolok di
tengah kerumunan pria-wanita berbaju hitam-putih. Ah, kenapa sih, buat
orientasi saja harus memakai pakaian ga jelas gini!? Gerutuku dalam hati.
“Lucu ya, kalau dilihat dari atas. Mereka jadi seperti
kawanan semut.”
Kaget. Aku nyaris saja
melompati pagar dan terjun bebas ke bawah. Seorang lelaki ikut menepi di pagar
dan berbicara padaku. Aku yang jarang ngobrol dengan lelaki, sontak kaget
mendengar suaranya.
“Wah, kaget yah, haha. Maaf yah.”
Dan aku terkejut sekali
lagi, begitu melihat siapa lelaki yang sedang berbicara padaku. Pria itu. Ya,
pria yang tatapannya mampu membekukan waktu dan segala hal yang sedang terjadi,
dan sekarang ia sedang menatapku. Aku, harus, bagaimana? Aku mencoba mengulangi
lagi kata-kataku sendiri. Ia di depanku; ia menatapku; dan ia tersenyum
kepadaku. Aku merapalnya ulang, seolah tak percaya bahwa ini sedang
terjadi. Ia di depanku, ia di depanku; ia menatapku, ia menatapku; dan ia
tersenyum kepadaku, dan ia tersenyum kepadaku! Cukup. Kegilaan ini ternyata
menjalar juga pada otakku. Aku mencoba berpikir jernih. Namun yang disodorkan
pikiran hanya kegilaan dan kekikukan. Celaka.
Aku belum pernah
melihatnya dari jarak sedekat ini. Ini kesempatan, tak boleh disia-siakan. Aku
mulai berani menatapnya balik. Ah, ternyata ia benar-benar tinggi, mungkin
setengah meter lebih tinggi dariku. Rambutnya ikal, tipe pria yang humoris,
setidaknya begitu setiap kali aku bertemu dengan saudara-saudaraku yang
berambut ikal. Wajahnya, astaga, hasil pahatan dari seniman terbaik yang pernah
kulihat. Mata, alis, hidung, dan dipadu dengan rahang yang kokoh, sempurna. Sementara
warna kulitnya yang sedikit putih ala Indonesia membuatnya kontras dengan
wajahnya. Aku kembali lancang dan meneruskan meliriknya lagi. Kulirik karton di
dadanya, yang mana menuliskan namanya secara besar-besar. Dan ternyata, kedua
orangtuanya memberinya nama Wira Satriawan.
Ah, ternyata ia
sekelompok denganku. Aku mencoba memanggil ingatanku tentang nama-nama yang
ditulis Karsih. Ya, benar. Aku ingat. Aku mengingatnya. Namanya tertulis dalam
secarik kertas yang ditulis Karsih. Secarik kertas yang berisikan nama-nama
teman sekelompok kami, sekelompok aku dan Karsih. Astaga, ini berarti dia
sekelompok denganku! Layaknya seorang bocah yang baru belajar mengeja kata, aku
terbata-bata berusaha mengeja keajaiban ini. Aku sekelompok dengannya, aku
sekelompok dengannya! Ini akan menjadi kegiatan MOS paling seru yang akan
kujalani. Ini tidak akan seperti kegiatan-kegiatan MOS yang lain; yang begitu
membosankan, menyusahkan, dan merepotkan. Karena MOS kali ini, beranjaknya aku
pada jenjang tingkat SMA, aku bersama dengan pria yang kukagumi, Wira
Satriawan.
Aku memang wanita
pengagum pria dengan segala ketampanannya, dengan segala penampilannya. Karena
berawal dari penampilanlah, kekaguman berbuahkan cinta, bukan begitu? Tapi
sudah lama diam-diam aku sering mengagumi pria-pria menarik, dan hanya kali ini
aku bukan hanya sekedar mengagumi, namun juga menggilai. Ada desir aneh ketika
melihatnya, ada debar janggal ketika melihat tatapannya. Ia berbeda. Aku
menggilai pria ini, Wira Satriawan.
Semenjak itulah, aku
tak pernah bisa berhenti membayangkannya. Ya, membayangkan Wira Satriawan. Pria
yang tatapannya mampu menyihir waktu dan segala hal yang terjadi menjadi beku.
Dan suaranya terus mengalun-alun di gendang telingaku.
“Lucu ya, kalau dilihat dari atas. Mereka
jadi seperti kawanan semut.”
“Iya, lucu. Dan pasti semut-semutnya seneng
deket-deket kamu deh, kan kamu manis, hehe.”
“Wah, kaget yah, haha. Maaf yah.”
“Iya, gapapa. Seneng banget kok dikagetin sama pria
tampan, hehe.”
Aku tertawa-tawa
sendiri. Menimpali candaannya tadi dalam imajinasi konyolku sendiri. Karna
nyatanya, aku hanya diam di depannya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari
bibirku, meski sudah ada ratusan kata yang terangkai dalam benakku. Padahal itu
sebuah kesempatanku untuk menarik perhatiannya. Payah.
Sudah malam. Namun aku
masih belum bisa terpejam. Wajah dan suaranya masih saja menghantuiku setiap
jam. Aku merasa resah. Aku merasa gelisah. Apa ini? Perasaan apa ini? Wajarkah?
Lumrahkah jika aku mengagumi dan menggilai seorang pria secara diam-diam?
Esoknya aku datang
terlambat. Seluruh pasukan putih hitam sudah berbaris rapi di dalam lapangan sekolah.
Sementara aku tertahan di luar gerbang sekolah yang terkunci. Ada beberapa
orang juga yang terlambat. Dan menemukan teman senasib tidak membuat rasa kesal
karena terlambatku padam. Sial, gara-gara tidur kemaleman, gara-gara ga bisa
tidur, gara-gara mikir hal yang ga jelas, gara-gara ngebayangin dia. Aku
menggerutu habis-habisan. Padahal belum tentu juga dia mikirin aku, hih.
“Semua yang terlambat, masuk, kemari!!”
Gerbang sekolah dibuka.
Dan kami sekumpulan orang-orang yang mengakui dosanya karena terlambat masuk
menunduk malu menghampiri senior yang memanggil. Hebat, masih pagi dan kami
sudah disuruh untuk nyanyi-nyayi, keliling lapangan, lalu membersihkan kamar
mandi untuk hukuman yang kami dapatkan, sempurna, pagi yang indah.
Aku beranjak menuju kelompokku ketika peluh sudah
membasahi seluruh wajah dan badanku. Dan aku paling tidak suka bermandikan
peluh seperti ini, terasa tak nyaman. Pagi ini benar-benar dikerjai
habis-habisan. Senior sialan, keluhku, terlambat dikit saja
hukumannya keterlaluan. Dan mengeluhlah aku sepanjang kegiatan MOS, karena
aku memang paling lihai perkara mengeluh.
Sesampai di rombongan kelompokku, aku
ditertawai oleh mereka, lebih tepatnya diledeki, diguyon-guyoni, digoda-godai. Aku
sangat kesal. “Ciee, terlambat.” Itu salah satunya, atau ini yang membuatku
paling kesal, “Ciee, mandi lagi.” Mereka melihat wajah dan badanku yang penuh
dengan keringat. Mengesalkan. Dan lihat, ternyata dia juga ikut menertawaiku!
Tidak merasa berdosakah kau hai pria polos dengan tatapan mata yang mampu
menyihirku? Malam-malam ini aku tidak bisa tidur gara-gara membayangkanmu,
tahu. Malam-malam ini aku tertidur larut gara-gara memikirkanmu, tahu. Kau
dengan leluasanya menertawakanku. Kau dengan seenaknya menyihirku, membuatku
jadi terpikat denganmu. Semestinya kau bertanggungjawab telah membuatku seperti
ini, huh. Namun setelah kupikir kembali, sepertinya memang aku yang salah.
Siapalah aku yang bisa menuntutnya untuk menghendakiku? Dan bagaimana bisa ia
peduli bila aku tak memberitahu sama sekali isi hatiku?
“Karsih, bagaimana bila ada seseorang yang kau kagumi?”
Aku menghampiri Karsih ketika kami sedang sibuk
menyimak materi dari para senior. Kami semua (peserta MOS) dikumpulkan dalam
sebuah aula.
“Cinta dan rasa kagum itu berbeda loh, inget yah mi.”
Seolah bisa membaca apa yang kurasa, akhirnya aku
menyerah pada Karsih. Teman memang mampu menangkap kegelisahan dan keresahan,
seperti ada ikatan emosional yang sudah terjalin lama antara kami. Padahal aku
baru mengenalnya selama tiga hari. Ia seperti sudah mengenalku lebih dalam.
Dengan warna merah yang
menyemburat di pipi, aku mengakuinya,
“Apaan sih kamu, bisa
aja. Terlalu cepat untuk menyebutnya cinta, Karsih.”
“Rahmi Hidayati. Selama
tiga hari ini kau paling banyak menghabiskan waktumu dengan siapa? Selama tiga
hari ini kau paling banyak bercerita dengan siapa? Dan selama tiga hari ini kau
paling banyak mencurahkan isi hatimu, dengan siapa? Aku, mi.”
Haha, sial kamu Karsih.
Tapi benar juga apa yang dibicarakannya, selama tiga hari ini, aku paling
banyak menghabiskan waktu dengannya. Nyaris kemanapun aku pergi, ada Karsih di
sampingku.
“Oke, oke. Aku kalah. Aku nyerah. Silahkan Nona Serba
Tahu, beritahu aku apa yang kau tahu.”
“Gitu dong. Akui saja kalau aku sahabat terbaikmu,
hehe.”
“Iya iyaa, yasudah cepet ih, keluarkan pendapatmu.”
“Dari apa yang kau bicarakan, bagaimana kau
membicarakannya, serta gerak-gerikmu, aku tahu kau sedang jatuh cinta, mi.
Jangan membohongi perasaanmu, cinta datang tanpa ada yang bisa menolaknya.”
Dasar Karsih lancang. Berani-beraninya ia
menerka-nerka isi hatiku. Dan kurangajar, terkaannya jitu! Kini aku
membiarkannya kembali menyerocos.
“Semakin lama kau sembunyikan perasaanmu pada
seseorang, akan semakin dalam perasaan itu terpendam. Itu fatwa cinta, mi.”
“Berarti aku harus menyatakannya?” Aku meyakini
diriku.
“Iya mi, tapi tidak serta-merta kamu harus
menyatakannya langsung. Perempuan punya etika tersendiri soal cinta. Perempuan
memiliki harga diri yang tinggi. Perempuan sangat istimewa.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Kau hanya harus menunggu. Dan mungkin juga ditambah
dengan memberikan sedikit sentuhan untuk merangsang kepekaannya.”
“Seperti kode maksudmu?”
“Iya, mi. Sebuah kode agar ia tahu isi hatimu yang
sesungguhya.”
“Bagaimana bila aku
nekat langsung menyatakannya?” Aku menanyakan hal ini, memastikan, walau aku
sudah tahu jawabannya. Kepahitan.
“Boleh kok, mi. Ga ada
yang melarang. Tapi kita membicarakan sebuah peran wanita di sini. Wanita ya
harus nunggu. Itu sudah jadi sebuah kodrat bagi seorang wanita.”
***
Kodrat. Ada yang
menganggapnya sebagai sebuah anugerah yang diberikan Tuhan untuk memuliakan
umat-Nya. Ada pula yang menganggapnya sebagai sebuah kutukan yang membuat
manusia merasakan beban dari penciptaannya. Terlepas dari semua itu, aku tak
tahu harus menganggapnya sebagai sebuah apa, anugerahkah, atau barangkali
sebuah kutukan.
Tergantung dari
prespektif mana kau memandangnya. Seorang sufi yang amat mencintai Tuhannya
akan memandangnya sebagai sebuah anugerah tiada tara. Ia bakal melabuhkan
seluruh raga dan jiwanya untuk menjaga kesucian kodrat tersebut. Namun bagi
wanita lemah sepertiku, apakah aku turut harus menjaga kesuciannya juga,
sementara hatiku di sini memberontak dan meradang.
Kodrat menjadikan
seorang wanita istimewa. Tidak, tidak sama sekali. Kodrat memperjuangkan
harga diri seorang wanita. Tidak, itu tidak benar. Kodrat teramat sangat memuliakan wanita. Memuliakan
apanya? Jangan berani-berani sebut ia memuliakan, sementara banyak wanita
yang batinnya tersiksa karena kehadirannya.
Bagaimana bisa kodrat
mebuat wanita merasa dimuliakan, ketika kodrat membuatnya tak bisa menyatakan
isi hatinya pada pria yang dicintainya. Itu terasa seperti mengekang. Mengekang
seorang wanita bagiku adalah tradisi konyol yang sudah tak layak lagi
diterapkan. Apa wanita hanya mesti menunggu? Menunggui pria yang ia idamkan
datang sendiri dengan ajaibnya menyatakan bahwa ia memiliki perasaan yang sama
untukmu. Tidak mungkin. Menunggu itu hal yang paling menyakitkan. Terlebih jika
hal yang kau tunggui sesuatu yang tidak pasti. Dan apabila hal yang kau tunggu
berbuahkan semu, pupuslah sudah.
Memang seringkali
kudengar bahwa jika wanita yang menyatakan isi hatinya secara langsung, ia disebut wanita murahan. Wanita gampangan.
Jalang. Atau kata-kata vulgar lainnya. Separah itukah? Separah itukah tudingan
yang harus didapat bagi wanita yang menyatakan isi hatinya secara langsung? Aku
bukan Pelaku Wanita Komersial, jadi kenapa harus menyandang gelar ‘murahan’?
Aku bukan wanita dengan pria yang bergonta-ganti, jadi kenapa harus menyandang
gelar ‘gampangan’? Aku juga bukan wanita liar, genit, murahan, gampangan, jadi
kenapa harus dikatakan ‘jalang’? Apa ada yang salah dengan wanita yang
menyatakan isi hatinya secara langsung, terhadap pria yang ia cintai?
Aku galau. Aku kacau. Terombang-ambing
perasaan dan pikiranku sendiri. Masih labil. Remaja. Masa-masa pubertas. Atau
apapun itu yang menyangkut keadaan biologis. Sering terjebak dengan perasaan
sendiri. Sering terburu-buru dalam mengambil tindakan. Sungguh malangnya remaja
tanggung sepertiku ini. Tapi bukan di sini letak permasalahannya. Ini masalah
hati. Masalah yang tak bisa disangkut-pautkan dengan hal apapun, kecuali juga
dengan hati. Dan sebuah kodrat yang diberikan untuk wanitalah membuatku merasa galau
dan kacau.
Ya, teman-temanku,
tidak terkecuali Karsih pasti akan menganggapku wanita murahan, ga punya harga
diri, tidak menghargai kodrat yang sudah melekat pada wanita, atau apapun yang
membuat telinga menanggung pedas. Bukan telinga saja, bahkan mungkin hati dan jiwa
tertimpa imbas. Itu semua bila aku menyatakan isi hatiku pada pria yang
kucintai, dan bukannya menunggu. Dan itu akan menjadi hal yang tak
tertanggungkan.
“Betapa murahannya kau
ini, mi. Ga punya harga diri. Kukira kau perempuan yang punya harga diri. Tapi
aku salah.”
Terbayang Karsih
mengucapkan kata-kata sinis itu padaku. Dan aku tak akan kuasa menahannya.
Namun bila aku hanya
terus diam, akankah belenggu ini melepaskan diri? Aku rasa tidak. Ini tidak
akan selesai dengan sendirinya. Aku harus memulai. Harus ada yang memulainya.
Masa bodoh dengan kodrat. Masa bodoh dengan harga diri. Masa bodoh dengan
segalanya. Aku hanya perlu meyatakannya, titik. Aku hanya perlu menjadi sedikit
berbeda. Ya, berbeda dari sedikit perempuan lainnya.
Lagipula, bukankah
sejarah telah mencatat seorang perempuan hebat yang berbeda dari
perepuan-perempuan lainnya? Bunda Kartini. Perempuan kelahiran Jepara itu
bagiku terlihat seperti seorang wanita yang hendak melawan kodrat. Ya, kodrat
yang terlalu membatasi dan mengekang ruang seorang wanita.
Dari
pemikiran-pemikirannya yang kemudian dituangkan dalam sebuah surat demi surat,
Bunda mencoba merubah takdir yang membuat perempuan-perempuan pada masanya
begitu rendah. Dipandang sebelah mata. Dapur, kasur, dan sumur, tiga tempat di
mana perempuan menghabiskan hari-harinya di situ. Dan itu sudah berlangsung
selama bertahun-tahun bahkan sebelum kelahiran Bunda sendiri. Melekat,
mengerat, dan mengakar. Sebuah tradisi bodoh yang sudah berlangsung selama
puluhan, atau mungkin ratusan tahun. Tapi Bunda memberikan sebuah pencerahan
saat itu. Layaknya terang rembulan yang menyinari gelap malam. Ya, seperti
sebuah judul bukunya, Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku yang berisi
pemikiran-pemikiran Bunda yang berusaha mengangkat habis-habisan harga diri
wanita, setinggi-tingginya. Setinggi-tingginya. Buku yang membuktikan, bahwa
pernah ada perempuan yang mencoba melawan kodrat.
Ya, aku hanya perlu
seperti Bunda Kartini. Sedikit kenekatan dan keberanian. Sedikit berbeda dan
akhirnya berhasil. Ya, hanya perlu seperti itu. Hanya perlu seperti Bunda. Oh, Bunda, pinjami aku kekuatanmu. Pinjami
aku keberanianmu. Untuk sedikit
menantang kodrat, Bunda, kodrat. Untuk sedikit melawannya saja. Ya,
hanya sedikit. Hanya di perkara kewanitaannya saja. Tidak yang lain. Doakan
saya, Bunda. Terdengar absurd, aku meminta Bunda Kartini mendoakanku.
Mungkin beginilah kiranya gadis remaja tanggung yang sedang kalang kabut oleh
cinta, namun tak bisa mengungkapkannya, lantaran hanya tersendat oleh sebuah
kodrat. Ya, sebab kodrat yang agung.
Sisa kegiatan MOS
kuhabiskan dengan banyak-banyak melamun. Bukan, bukan melamun seperti orang
idiot, namun saking terlalu banyaknya keresahan yang meski ditanggung. Dan
karena ini hari terakhir MOS, aku jadi makin resah. Kulihat pria itu
tenang-tenang saja. Sementara aku di sini pusing tujuh keliling.
“Gimana mi? Udah ngodein orangnya belum, hehe.”
Ah, Karsih menggodaku.
“Belum nih, hehe.” Aku menjawabnyanya sambil tertawa.
Saat ini aku tak mau ada keresahan yang terendus Karsih.
“Hmmm. Kamu sih sok rahasia-rahasiaan. Kan aku bisa
bantu nyomblangin. Siapa sih orangnya?”
“Alah Karsih. Percuma saja aku berusaha keras memberinya
kode dan kamu bantu nyomblangin, kalau dia nggak peka dan nggak ngerespon.
Capek tauk nungguin.”
“Iya sih. Hmm, tapi jangan cemberut gitu dong mi. Kan
aku jadi ngerasa ga enak, ga bisa bantuin.”
Aku memeluk Karsih.
“Bisa bantu atau tidak, kamu tetap teman terbaikku
kok.”
Adakah yang salah dari perempuan yang mencoba
mengungkapkan perasaannya lebih dulu pada lelaki yang dicintainya? Adakah yang
salah dari perempuan yang mencoba sedikit berbeda dari perempuan lainnya? Adakah
yang salah dari perempuan yang mencoba melepas penderitaannya sendiri? Adakah,
Karsih, adakah? Kupeluk Karsih sekencang-kencangnya, berharap pelukannya akan
melahirkan jawaban-jawaban atas pertanyaanku.
Para pasukan hitam putih berkumpul di lapangan
sekolah. Termasuk aku dan Karsih. Kami semua dikerahkan untuk membersihkan
sekolah. Sisa-sisa sampah dan segala macam kotoran selama kegiatan MOS. Operasi
semut, begitu para senior kami menyebutnya.
“Jangan ada secuil debupun tersisa! Jika kakak masih
menemukannya, jangan harap kalian boleh pulang!”
Semua senior melantunkan kata dan nada yang sama.
Seakan perintah itu menggema di penghujung dan seluruh sekolah, kami
membersihkan sekolah dengan was -wasdan cemas. Khawatir bakal ada
setitik debu yang terlewati, dan kami tidak bisa pulang. Sementara aku hanya
mencemaskan hatiku, yang semakin resah seiring sampah demi sampah, debu demi debu,
yang mulai tandas dan ludas dipunguti.
Semakin cepat sampah terangkat, berarti semakin cepat
juga ‘operasi semut’ selesai. Artinya, kegiatan MOS ini benar-benar usai hanya
tinggal hitungan menit. Dan itu bermakna bahwa dalam hitungan menit juga aku
akan segera berpisah darinya. Berpisah dari pria yang tak akan pernah tahu
bahwa ada seseorang yang mencintainya diam-diam. Seperti sampah yang terangkat
lalu terurai oleh bakteri, cintaku akan sirna sendirinya tanpa ia ketahui.
Akan tetapi puaskah bila hanya menunggu perasaan ini
sirna dengan sendirinya? Sepertinya tidak. Aku hanya akan menderita dan
mengutuk diriku sendiri yang terlalu pengecut, terkalahkan oleh kodrat yang
bagiku telah mengekang wanita sekencang-kencangnya, bukan memuliakannya. Ya,
masa bodoh dengan urusan kodrat. Aku, Rahmi Hidayati akan membuktikan, bahwa
aku bisa seperti Bunda Kartini, menjadi wanita yang berbeda.
Aku mencoba
memberanikan diriku. Aku mencoba melawan segala hal yang mengekangku. Aku
mencoba menghapus deritaku. Aku akan mencoba, memberitahunya, bahwa aku
mencintainya. Ya, harus.
Tapi bagaimana bila ia
menolakku? Menolak semua isi hatiku. Tidak mungkin, mi. Aku tahu bahwa
ia juga memiliki desir-desir yang sama di hatinya. Kalaupun tidak, setidaknya
aku sudah menyatakannya. Ada belenggu yang bakal terlepas, dan aku bisa
bernapas dengan lega. Meski entah apakah aku akan bernasib sama seperti
Srikandi, yang menghadapi penolakan Bisma seorang diri.
Saat senja mulai
menenggelemkan dirinya di balik awan, aku mendatanginya. Kegiatan MOS kami
sudah selesai. Orang-orang berpakaian hitam-putih mulai menyebar pergi. Sampah-sampah
sudah terangkat pada tempatnya, dan kami para junior menjamin, sekolah sudah
benar-benar bersih, terlepas dari sampah dan debu. Kini hanya tinggal aku dan
pria itu di sela-sela lorong sekolah.
Aku menghampirinya,
“Wir, Ami ingin bicara
dengan Wira.”
“Ah, ya. Ada apa mi?”
“Begini wir, Ami....,
Ami...,” Oh, ayo mi, katakan saja, kau pasti bisa.
“ Ami suka sama Wira.”
Semenit. Lima menit.
Sepuluh menit. Dua puluh menit. Atau mungkin sudah setengah jam sejak aku
mengatakan kalimat itu di depannya. Tidak ada reaksi apapun darinya. Hingga
ketika senja benar-benar sudah tertelan langit malam, Wira menyentuh pipiku,
lalu mengatakan sesuatu,
“Maaf, mi. Tapi Wira ga
suka sama Ami.”
Dan ia berbalik pergi. Meninggalkanku.
Meninggalkan aku dalam keadaan hati yang hancur berkeping-keping, karena memang
aku belum benar-benar menyatakannya, memberitahunya bahwa aku mencintainya.
Yang tadi hanya khayalan liarku yang sudah kalah telak oleh kodrat. Kodrat yang
bagiku membuat wanita menderita, bukan memuliakannya. Maaf, Bunda.
Serang, 06 Agustus 2014
Comments
Post a Comment