Sisi-Sisi yang Lain
SISI-SISI YANG LAIN
Bersama
senja yang mulai memudar aku menunggumu, duduk santai digubuk reyot menantimu.
Bisa dibilang ini ritual yang kulakukan setiap hari, duduk disini hanya untuk
melihatmu lewat. Dan ketika kamu lewat, berjalan dengan teman-temanmu, dan bersama-sama
menggotong sebak sampah yang terlihat berat. Saat itu aku ingin berlari ke
arahmu lalu membantumu, dan mengatakan bahwa wanita secantik dan seanggun
dirimu tak perlu menggotong bak sampah itu. Namun itu hanya bayang-bayang yang
tak kunjung jadi nyata. Aku tetap duduk dan mengamatimu dari sisi ini, sisi
dimana aku duduk santai digubuk reyot dan hanya bisa berimajinasi dalam
baying-bayang semu.
Dan apabila
fajar merekah, aku bergegas pergi ke tempat tertinggi, sambil terengah-engah
mengejar waktu. Tepat pada setengah jam sebelum bel sekolah berdentang keras,
kamu melesat keluar dari tempatmu menuju kelas. Dalam perjalananmu menuju kelas,
aku mengamatimu dari atas, menikmati wajahmu yang indah berbalut kerudung
putih, dipadu dengan seragam putih abu-abumu, ditambah dengan mimik sok
cemberutmu, seakan kamu benci dengan kecantikanmu sendiri, sedangkan aku
menyukainya, bagiku, kusebut ini sempurna. Senin dan Selasa pagi, sisi di mana
aku berlarian dengan waktu, menaiki tangga dan sesampainya ditempat tertinggi,
aku mengamatimu, mengawasimu, dan berlalu ketika fajar lenyap oleh Sang Surya.
Lain hal
saat upacara. Aku sengaja berlambat-lambat. Aku sengaja mempermainkan waktu,
bahkan menantangnya untuk semakin cepat berlalu. Kulakukan agar semua orang
cepat berkumpul dilapangan, dan aku datang lebih akhir, berdiri di barisan
paling belakang, lalu berusaha menemukanmu. Tak peduli dengan wanita-wanita
berkerudung lain yang berbaris, aku hanya mencarimu. Sampai aku menemukanmu,
segala yang berlangsung kuacuhkan. Waktu, kasak-kusuk murid, teriakan-teriakan
pemimpin barisan, pun bendera merah-putih yang berkibar tertiup angin sejuk
pagi, tak semuanya kupedulikan. Yang kulakukan hanya mencarimu, menemukanmu,
dan mendapatkanmu. Dan jika sudah kutemukan dirimu yang berbaris disana, aku
tersenyum puas. Melihatmu sejenak, meresapi lekuk-lekuk wajahmu, dan berkata
pada diri sendiri,
“Tuhan, mengapa Engkau turunkan bidadari kemari, seharusnya
dia tetap disana, menunggu untuk menjadi pelepas dahaga bagi hambaMu yang
selalu mengagung-agungkan Dirimu, bukannya berbaris disini, ikut hormat bersama
wanita-wanita fana lainnya.”
Ini sisi-sisi yang lain, dimana aku sengaja berlambat-lambat
dengan waktu, agar semua orang tiba lebih dulu dilapangan, dan aku dating setelah
itu, mencoba mencarimu, dan setelah menemukanmu, aku terpana dan bertanya-tanya
pada Tuhan, untuk apa gerangan Dia mengirim bidadariNya ke sini.
Selepas itu,
aku tidak pernah lupa, satu sisi lagi, dimana aku terkejut setengah mati,
mengetahui bahwa aku selalu bisa melihat senyum, canda, dan tawa renyahmu di
kelas. Pada saat itu aku mengawasimu dalam diam. Aku memujamu dalam
baying-bayang. Aku berharap padamu dalam mimpi-mimpi. Dan yang paling penting,
aku mencintaimu dari semua itu. Bagiku, sisi inilah dimana aku bisa mencintaimu
dengan leluasa, tanpa perlu engkau tahu. Sampai-sampai jerit para guru yang
melengking-lengking, yang berusaha mati-matian menjajakan ilmu untuk
anak-anaknya, tak pernah sedikitpun kuperhatikan. Jangankan kuperhatikan,
peduli saja tidak. Yang kupedulikan hanya dirimu, dirimu, dan dirimu. Tanpa
perlu engkau tahu. Tanpa perlu engkau mengerti betapa aku yang selalu terpana
melihatmu, tergila-gila ketika menyaksikan kamu tertawa, tersenyum, bahkan
dalam diam mu.
Mungkin kamu
tidak sadar. Atau mungkin kamu tahu, tapi bersandiwara untuk tak tahu. Karena
terkadang, ketika aku melirik matamu, mencoba menelusuri isi hatimu, mataku dan
matamu bertemu. Aku melhat sekilas bayanganku disana. Dan kamu tentunya melihat
bayanganmu juga disini. Seketika itu, kita saling membuang muka, saling
menyibuki diri sendiri dengan pikirannya masing-masing. Aku menduga, saat itu
pasti kamu bertanya, karena aku juga bertanya. Mengapa? Kenapa? Ada apa?
Bertubi-tubi pertanyaan itu hadir, sampai akhirnya lenyap ditelan kesibukan.
Aku juga menduga, saat itu pasti jantungmu berdegup kencang, karena aku juga
begitu, menuntut jawaban dari isi hatiku dan hatimu tentang mengalirnya
perasaan yang sulit ditebak. Entah dugaanku benar atau tidak, aku menduga karena
aku merasa. Dan aku merasa karena hati yang berbicara.
Namun
selepas itu semua aku hanyalah lelaki yang hanya bisa mengagumi, dan melepas
kekagumanku lewat sisi-sisiku sendiri. Sisi-sisi dimana aku menyanjungmu saat
senja mulai memudar, ditemani gubuk reyot yang bisu. Sisi-sisi dimana aku
memujamu kala fajar merekah, menikmati keindahanmu dari tempat tertinggi.
Sisi-sisi dimana aku sengaja berlambat-lambat dan menantang waktu agar berjalan
lebih cepat, demi melihat keanggunanmu daam barisan wanita-wanita lainnya.
Sisi-sisi dimana aku selalu bisa menghirup senyum dan tawamu dikelas. Sisi-sisi
dimana aku dan kamu saling bertatapan, saling menerka isi hati, lantas berlalu
dengan saling membuang muka.
Seluruh sisi-sisi ini yang selalu mengungkapkan isi hati,
perasaan, dan segala-galanya tentangmu.
Dan saat aku tidak bisa lagi memujamu, mengagumimu,
menyanjungmu, melihatmu, mengamatimu, dan mencintaimu lewat sisi-sisi ini, aku
akan meneruskannya lewat sisi-sisi yang lain. Tanpa perlu kamu tahu.
Serang, 22 April 2013
Comments
Post a Comment