Surat Cinta Untuk Sepapan Catur



Kepada pujaan hatiku, Sepapan Catur di loteng pos ronda Mang Roni,

Jujur sudah lama aku ingin menulis surat ini. Kau mungkin tak tahu, betapa terpesonanya aku saat pertama kali mengenalmu. Bapaklah yang mengenalkanmu padaku. Saat itu aku masihlah sering ngompol setiap malam meski teman-teman sebayaku sudah tidak. Aku ingat, pertama kali melihatmu, mataku berbinar-binar saat itu. Tubuhmu kotak hitam malam, juga kotak putih angsa. Serasi dan harmoni. Yang membuatku amat menggilaimu adalah kau merawat dua warna itu sekaligus, adil menyuapi mereka, tak kurang juga tak lebih. Sungguh samudera hatimu.

Dari dulu aku sangat ingin menyampaikan ini, namun baru bisa kukumpulkan nyaliku untuk menyampaikannya, karena ini mungkin agak sedikit sensitif bagimu. Ini tentang postur tubuhmu. Aku ingin kau tidak minder dengannya. Tidak semua lelaki suka dengan tubuh serupa gitar spanyol. Ya contohnya saya. Saya suka kok tubuhmu yang kotak kokoh dan kaku –yang kata orang-orang- itu. Pokoknya jangan pernah minder ya gara-gara tubuhmu, apalagi soal pasangan. Tidak usah khawatir, karena Tuhan punya hutang pada kita. Dia akan melunasinya dengan memberi kita pasangan. Siapa tahu kita jodoh, ya kan? Hehe, terlalu berharap sekali saya.  

Kau pasti tidak ingat, dulu Bapak mengajari aku menyentuhmu untuk pertama kalinya. Aku sangat grogi saat itu. Baru kali itu menyentuh cinta. Tidak pernah tahu perasaanmu saat itu, apakah sama sepertiku, atau biasa saja. Cukup sulit menebak karena aku tidak pernah melihat ekspresi apapun di wajahmu. Yang kutahu saat itu, kulitku dan kulitmu berpelukan mesra. Jantungku berdegup gempa. Kau tetap diam saja. Tapi biarlah, karena aku mengagumi kebaikanmu. Diam-diam, selain warna hitam dan putih, kau juga merawat empat ekor kuda dan empat ekor gajah. Tidak hanya itu, kau juga menjadi kesatria yang menjaga empat buah benteng, delapan orang pion, yang mulia raja, dan perdana menteri. Semua cuma-cuma. Pamrih tak kau minta. Sungguh, kau baik. Semenjak saat itu aku terus mencintaimu. Menciumi aroma tubuhmu yang kayu. Mengajak seluruh hewan dan manusia yang kau rawat bermain dalam genggam tanganku. Kadang-kadang aku mengadukan mereka. Gajah putih melawan raja putih, menteri hitam melawan pion hitam, atau kuda putih melawan kuda hitam, namun dengan cinta. Sedari kecil itu aku sungguh menggilaimu.

Saat aku makin berbulu dan jakunku mulai bengkak, aku mulai menimbun cemburu. Baru kusadari ternyata yang mencintaimu tak hanya aku. Banyak pria di luar sana yang juga mencintaimu. Mereka memperebutkanmu. Juga kudengar kau lebih tertarik dengan pria yang lebih jenaka. Aku selalu berharap-harap bahwa akulah pria tersebut. Tapi orang yang besar selalu berkata, “Cinta adalah pembuktian. Maka buktikanlah cintamu.” Dan untungnya bapakku dulu tidak hanya mengenalkanku pada lekuk dan nama-nama tubuh anggunmu itu. Ia mengajarkanku untuk bertanding dengan pria manapun di belahan dunia, termasuk bapak sendiri. Pertandingan menaklukkan hatimu.

Pertandingan antar pria tanpa menghiraukan fisik, status, gelar, pangkat, bahkan negara. Pertandingan pria dengan hanya otak sebagai modalnya, tidak yang lain. Maka jangan heran, jika presiden dan tukang parkir bisa saling duduk dan beradu untuk memperebutkanmu. Dan memperebutkanmu tidak mengandalkan seratus persen akal yang di dalamnya selalu mengalir sungai yang deras. Memenangkanmu membutuhkan strategi hati-hati, teliti dan fokus paling sakti. Jika tidak, tentu membuatmu menoleh pun takkan bisa.

Kau yang selektif ini membuatku sedikit gelisah, karena tak terkira sungguh banyaknya pria dengan kriteria tadi yang menjadi sainganku. Bapak salah satunya. Untungnya, bapak sudah kucoret dari daftar sainganku. Ia sudah tidak menaruh perasaan lagi padamu. Masih ada barangkali, namun tidak sebesar dulu. Sebab ketika kuajak ia bertanding akhir-akhir ini, kejenakaannya tumpul dan rentan mandul. Jika boleh sombong, bapak sudah tidak menjadi saingan beratku lagi.

Saingan terberatku kini si Ardi dan Abah. Ardi, pria minder dengan dunianya yang sempit, namun ketika mendengar namamu tangkasnya bukan main. Ketelitiannya macam Begawan. Dulu ia selalu kukalahkan. Kini ia selalu mengalahkanku. Sementara si Abah, pemilik warung kopi tulen puluhan tahun yang gemar bersemedi di kursi depan warungnya, gesit bukan main. Ia sudah khatam dengan apa yang kau mau dan bagaimana cara memperlakukanmu. Kadang aku kerap kali heran, orang-orang kecil ini malah piawai sekali soalmu. Padahal, konon kepintaran dan pendidikan adalah kekasih sehidup semati, tak bisa dipisah-pisah. Dan ah, aku yang masihlah hijau dibanding dengannya, bukan apa-apa. Aku pun berani bertaruh, bahwa jika si Ardi dan Abah beradu, Abahlah yang memenangkan hatimu.

Dalam surat ini, aku hanya ingin kau tahu, bahwa siapapun nanti yang akan kau berikan sepenuh hati cintamu, semoga kau selalu bahagia. Bukan berarti aku akan berhenti berlatih, atau malah pasrah dan berhenti bertanding, bukan. Aku akan tetap berlatih, aku juga akan tetap bertanding. Sampai mengkerut otakku, sampai meleleh otakku, aku akan terus berusaha memenangkanmu. Namun pahamilah, bahwa terkadang kita harus menerima takdir. Apa yang sudah terjadi, maka nikmatilah. Meski kecewa, belajarlah menerima. Biarlah aku menjelma Sabri, dan kau menjadi Lena. Semoga kau mengerti.

Ardi vs Si Abah


Kepada pujaan hatiku, Sepapan Catur.

Aku ingin kau tahu, bahwa mimpiku selalu satu, mengalahkan seluruh lelaki yang menginginkanmu, agar kumiliki kau seutuhnya.

Salam cinta,
Pria yang menggilaimu, selalu.

Serang, 17-2-2018.








Comments

Popular Posts