UAS Rasa Tugas

UAS Rasa Tugas


“Soal ini kalian kerjakan di rumah…”

Sontak, saya dan teman-teman terheran-heran sekaligus girang bukan kepalang. Seperti memenangkan kuis berhadiah mobil, kami senyum-senyum sendiri.

Ya, bayangkan saja, sebagian mata kuliah UAS (Ujian Akhir Semester) yang biasanya dilakukan di kelas pada tanggal 5-10 Januari mendadak bisa kami kerjakan di rumah. Tanpa memikirkan bagaimana mekanisme dan penilaiannya nanti, kami mengangguk-angguk semangat.

Saya dan teman-teman jadi bisa mengerjakannya dengan cara-cara yang biasanya tabu bila dikerjakan di kelas. Kami bisa membuka-buka buku sepuas mungkin, bekerja sama, nyontek, dan bisa mengerjakannya sambil berleha-leha sampai batas waktu pengumpulan.

Seperti hanya sebuah instruksi tugas-tugas yang biasa diberikan dosen, begitulah rasanya UAS sekarang. Bedanya, tugas yang kami kerjakan ini akan mempengaruhi nilai akhir semester hingga 50% (menurut penghitungan SKS mata kuliah). Kami hanya perlu menyelesaikannya lalu mengumpulkannya, layaknya tugas biasa.

Sebagian teman-teman saya banyak yang menyandai sistem UAS yang kali ini, “Tuhan menjawab doa saya kemarin. Kemarin saya minta UAS agar dimudahkan, dan Tuhan mengabulkannya dengan yang lebih baik!” Saya hanya tertawa saja mendengarnya. Kendati begitu, banyak teman-teman saya yang sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari, merasa sedikit kecewa dengan sistem UAS yang diterapkan kampus saya kali ini.

UAS yang tadinya bersifat sakral dan kudus berubah menjadi hal yang biasa saja. Yang tadinya selalu mengagetkan dengan soal-soalnya yang selalu jauh dari perkiraan, kini tak lagi menggetarkan. Apa yang kami siapkan jauh-jauh hari seperti kehilangan apresiasi. Meski banyak teman saya terlebih juga saya sendiri, sedikit bersyukur terkait mata kuliah yang belum siap diujikan, bisa dikerjakan di rumah.

Terpilihnya Presiden Jokowi memberikan banyak perubahan pada komponen-komponen pendidikan Indonesia. Seperti pemisahan pendidikan tinggi dari Departemen yang mengelola pendidikan dasar, menengah, dan kebudayaan ke Departemen Riset dan Teknologi sehingga kini noklematurnya menjadi Departemen Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristek dan Dikti).

Sementara terkait dengan pemisahannya tersebut, semuanya harus diikuti dengan kesegeraan pengalihan anggaran pendidikan tinggi dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang kini menjadi Kementrian Budaya, Pendidikan Dasar dan Menengah ke Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Operasional perguruan tinggi akan terganggu apabila pengalihan anggaran tidak cepat diselesaikan. Menurut Pak Haryono di Komisi Pemberantasan Korupsi,  pembahasan pengalihan anggaran akan melibatkan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan dibicarkan bersama wakil rakyat. Setelah itu, prosesnya akan berlangsung di tangan Presiden. "Perubahan harus sekarang, harus sudah selesai. Itu prosesnya lama," ujar pimpinan KPK periode 2007-2011 itu. (Source:CNN Indonesia, Kamis 30/10)

Sedangkan Pak Haryono juga menyebut, proses pengalihan anggaran akan mengganggu operasional perguruan tinggi selama kurun waktu Januari hingga April 2015. Anggaran untuk pendidikan tinggi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun ini tercatat sebesar Rp 41,5 triliun. 

Efek dari pengalihan anggaran tersebut nampaknya turut menyebabkan dampak yang besar terhadap hampir seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, termasuk kampus saya. Pengalihan ini menyebabkan mengerucutnya anggaran seperti anggaran pengawas ujian sehingga ujian semester kali ini, kampus saya tidak menyediakan anggaran untuk pengawas ujian. Alternatifnya, seluruh dosen menjadi pengawas untuk ujian mata kuliahnya sendiri. Inilah mengapa ternyata ide UAS yang bisa dikerjakan di rumah ini mungkin muncul di benak para dosen.

Saya sendiri baru tahu, setelah diberitahu oleh dosen saya yang ketika itu sedang mengawas ujian mata kuliahnya sendiri, bahwa ketika ujian masih dianggarkan, seorang dosen bisa mendapatkan nominal kisaran Rp 200.000,00 setiap satu kali mengawas. Bayangkan bila selama ujian mengawas sebanyak sepuluh kali, berapa yang didapat? Sebagai kompensasinya mungkin, take home (mengerjakan di rumah) adalah jalan yang setimpal untuk melunasinya. Tapi untuk dosen-dosen yang masih semangat mengawas dalam ujian, terlebih untuk dosen saya saya yang memberi tahu tadi, saya sangat terkesan. Sebelumnya, anak-anak di kelas saya nyeletuk, “Pak, kok ga take home?” Beliau sedikit tertawa dan menjawab, “Dibayar ga dibayar, ini memang sudah menjadi amanat bapak.”



Amanat. Saya tahu di zaman serba duit ini hanya segelintir orang yang masih mengingat hal ini. Di tengah derasnya arus globalisasi, meluasnya sekulerisme dan liberalisme yang tak mengenal batas, seringkali seseorang melupakan amanat yang sedang diembannya. Sehingga tak jarang bibit-bibit keburukan dimulai dari melupakan hal ini. Dan untuk dosen saya yang masih memegang teguh amanatnya, sekali lagi saya sangat mengapresiasi.

Begitulah mungkin seharusnya, wahai bapak atau ibu dosen. Alangkah baiknya menjadikan sebuah amanat sebagai motif mu. Jangan kau biarkan peserta didikmu ini menjadi generasi yang bodoh karena sistem ujian yang –menurut saya- amburadul. Meski tak kau dapatkan sepeserpun uang, jangan kau biarkan kami mengerjakan lagi UAS yang benar-benar terasa seperti hanya sebuah tugas.

Comments

Popular Posts